Produsen Mode Ternama Dukung Produksi Garmen Berkelanjutan
14 Februari 2021Sejumlah merek fesyen ternama seperti H&M, M&S, dan C&A mendukung inisiatif di Bangladesh yang mendorong penggunaan lebih banyak bahan daur ulang dalam produksi pakaian. Inisiatif ini ditargetkan dapat secara signifikan mengurangi emisi pemanasan global yang dihasilkan dari industri tersebut pada tahun 2030.
Circular Fashion Partnership, sebuah proyek yang diumumkan minggu ini, menyatukan lebih dari 30 merek internasional, perusahaan daur ulang Bangladesh, dan produsen garmen untuk menggunakan kembali limbah tekstil dari pabrik pakaian guna membuat produk-produk baru.
Jika berhasil, inisiatif ini dapat direplikasi di negara lain, seperti Indonesia dan Vietnam, dan membantu mengurangi emisi yang dihasilkan oleh industri mode dalam skala lebih luas, kata Global Fashion Agenda (GFA), organisasi nirlaba yang memimpin skema baru itu.
Pada 2018, emisi gas rumah kaca sektor ini mencapai lebih dari 2 miliar ton, angka yang perlu dikurangi setengahnya pada tahun 2030, agar sejalan dengan tujuan iklim global, demikian menurut GFA.
"Mengurangi dampak lingkungan seperti emisi gas rumah kaca dan sistem sirkuler dapat berjalan seiring," kata juru bicara GFA Alice Roberta Taylor dalam komentar tertulisnya lewat surat elektronik.
Kemitraan tersebut akan mengurangi emisi karbon dari produksi pakaian dan permintaan bahan mentah, yang termasuk bahan bakar fosil, dengan mengurangi jumlah limbah dan meningkatkan penggunaan bahan daur ulang, tulis Alice Roberta Taylor.
Kontribusi emisi industri garmen meningkat pesat
Di bawah kesepakatan iklim Paris 2015, hampir 200 negara setuju untuk memangkas emisi gas rumah kaca menjadi nol pada pertengahan abad ini dan membatasi kenaikan suhu rata-rata global menjadi jauh di bawah 2 derajat Celsius.
Menurut penelitian tahun 2020 oleh GFA dan McKinsey & Company, industri fesyen menghasilkan 4 persen emisi pemanasan iklim global. Angka ini setara dengan gabungan emisi tahunan Prancis, Jerman, dan Inggris.
Namun pada tahun 2019 Program Lingkungan PBB mengatakan bahwa kontribusi industri mode dalam emisi karbon global telah mencapai 10 persen, atau lebih dari gabungan semua penerbangan internasional dan pengiriman maritim. Industri ini juga dinyatakan sebagai sektor industri yang mengonsimsi air terbesar kedua di dunia.
Bangladesh adalah negara yang terletak di dataran rendah dan dianggap sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti meningkatnya banjir, badai, dan kenaikan permukaan laut. Negara ini juga produsen pakaian terbesar kedua di dunia yang ekonominya sangat bergantung pada industri garmen.
Kembangkan model bisnis sirkuler
Sejauh ini, sebagian besar limbah dari industri garmen diekspor atau didaur ulang untuk penggunaan yang kurang berharga, kata GFA.
Miran Ali, direktur Asosiasi Produsen dan Eksportir Garmen Bangladesh, mengatakan sudah waktunya bagi industri mode untuk beralih dari model bisnis linier yakni model take-make-dispose dan menuju pendekatan sirkuler yang lebih berkelanjutan.
Karena pabrik Bangladesh memproduksi barang dalam volume besar, limbahnya distandarisasi, membuatnya relatif mudah untuk ditangani, katanya. "Karena itu, Bangladesh bisa menjadi pemimpin global di bidang ekonomi sirkuler," katanya dalam sebuah pernyataan.
Tahun lalu, Green Climate Fund yakni badan yang dibentuk untuk membantu negara berkembang mengadopsi energi bersih dan beradaptasi dengan perubahan iklim, telah menyetujui sebuah proyek terpisah untuk membantu mengurangi emisi di sektor garmen Bangladesh dengan memungkinkan penggunaan energi yang lebih efisien.
H&M, salah satu klien terbesar industri Bangladesh, mengatakan kepada Thomson Reuters Foundation bahwa mereka sedang berupaya mengubah seluruh model bisnisnya menjadi "sepenuhnya sirkuler dan iklim positif."
Untuk mencapainya, produsen pakaian asal Swedia ini menargetkan rantai pasokannya menjadi netral iklim, atau berarti tidak berkontribusi terhadap pemanasan global - dan hanya menggunakan bahan daur ulang atau bahan bersumber berkelanjutan lainnya pada tahun 2030.
Tren perdagangan karbon
Sementara itu, awal bulan ini Cina baru saja meluncurkan sistem perdagangan karbon yang dirancang untuk menurunkan emisi. Negara pencemar terbesar di dunia ini juga tengah mengambil langkah menuju dekarbonisasi ekonomi pada tahun 2060.
Skema perdagangan tersebut untuk pertama kalinya akan memungkinkan pemerintah provinsi menetapkan batas polusi bagi bisnis besar dan memungkinkan perusahaan untuk membeli hak untuk memproduksi polutan dari sektor atau orang lain yang memproduksi jejak karbon lebih rendah.
Program yang awalnya akan diluncurkan pada 2017 ini diharapkan dapat menurunkan emisi secara keseluruhan dengan membuatnya lebih mahal bagi perusahaan listrik untuk mencemari. Sistem ini diharapkan dapat melampaui sistem Uni Eropa untuk menjadi skema perdagangan emisi (ETS) terbesar di dunia.
Kantor berita resmi Xinhua mengatakan aturan untuk manajemen perdagangan emisi karbon mulai berlaku Senin (04/02). Dengan demikian, lebih dari 2.200 perusahaan listrik di seluruh negara itu dapat mulai memperdagangkan kuota emisi mereka. Setiap tahunnya, sektor energi listrik di Cina diperkirakan mengeluarkan lebih dari 26.000 ton gas rumah kaca.
ae/yp (Thomson Reuters Foundation, AFP)