1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
BudayaRusia

Kremlin: Antara Kekuasaan dan Mitos

13 April 2022

Pusat kekuasaan, tempat tinggal penguasa, dan jantungnya budaya Rusia ada di Kremlin. Di sepanjang masa, di sinilah penguasa Moskow putuskan arah politiknya. Namun, juga lebih dari sekadar markas besarnya penguasa Rusia.

https://p.dw.com/p/49q6x
Kremlin (ka.) diapit Katedral St.Basil (ki.)
Kremlin (ka.) diapit Katedral St. Basil (ki.) dan dibatasi Lapangan MerahFoto: Peter Seyfferth/imageBroker/picture alliance

Kremlin yang bentengnya dihiasi lapisan timah putih, berdiri megah di tepi sungai Moskva. Tepat di seberangnya, dibatasi Lapangan Merah yang terkenal, dan ada Katedral St. Basil dengan kubah keemasannya yang ikonis. Ansambel bangunan ini, tidak sekadar menunjukkan citra megah. Namun, di sinilah juga sejak bebeberapa abad silam, diputuskan politik Rusia.

Kremlin adalah titik kristalisasi sejarah sekaligus pusat kekuasaan Rusia. Dari mulai "Ivan the Terrible" yang merupakan Tsar pertama, Stalin, hingga sekarang Presiden Vladimir Putin, semua penguasa puncak ini memerintah dari Kremlin.

"Kremlin adalah perwujudan dari Rusia," ujar sejarawan Inggris, Catherine Merridale. "Itu simbol kekuasaan negara."

Ketika Presiden Rusia Vladimir Putin menerima para tamunya, menjelang perang di Ukraina, dunia menyaksikan sebuah pertunjukan spektakuler. Presiden Prancis Emanuel Macron atau Kanselir Jerman Olaf Scholz duduk bersama Putin di sebuah meja berbentuk oval yang sangat besar. Masing-masing pemimpin duduk di ujung meja yang jaraknya sangat jauh.

Sebuah demonstrasi kekuasaan? Atau sebuah tindak pengamanan dari penularan infeksi COVID-19? Kremlin menjaga jarak dengan para tamunya. "Hal ini cocok dengan karakter Kremlin," kata Merridale. Sangat memesona dan juga teater megah, kata sejarawan Inggris itu dalam wawancara dengan harian Jerman, Süddeutsche Zeitung.

Vladimir Putin berunding dengan Olaf Scholz di Kremlin
Presiden Rusia Vladimir Putin berunding dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz di sebuah meja yang sangat besar di KremlinFoto: Mikhail Klimentyev/Sputnik/dpa/picture alliance

Demonstrasi kekuasaan dan tirani 

Kemegahan dan besarnya Kremlin juga punya tujuan tertentu. Istana para Tsar itu harus lebih besar dan lebih megah dari istana manapun yang ada di Eropa.

"Ini merupakan sebuah intimidasi arsitektur," ujar sejarawan Inggris yang menulis buku "Red Fortress" yang merunut sejarah 500 tahun kekuasaan di Kremlin itu. Juga penguasa Kremlin saat ini, Vladimir Putin tahu persis bagaimana memanfaatkan istana Tsar itu untuk kepentingan citranya.

"Aula yang megah gemerlapan, lampu gantung keemasan, ruangan super besar, orang pasti akan terperangah," ujar Merridale.

Penulis perjalanan wisata dan diplomat Prancis, Marquis Astolphe de Custine, bahkan menulis "inilah monumen setan dan demonstrasi kekuasaan para tiran." 

Custine melakukan kunjungan panjang ke Rusia pada 1839 untuk membuat tulisan tentang pemerintahan otoriter.

"Despotisme mengekang kebebasan berkembang rakyat," tulis bangsawan Prancis itu. "Semua pelayan di Kremlin bersikap sangat hati-hati dan curiga, terutama terhadap orang asing.”

Namun, diplomat, penulis, dan bangsawan Prancis itu juga mengungkapkan kekagumannya pada Kremlin. "Sebuah metode konstruksi Rusia asli, yang mencatat kebutuhan Rusia dan jadi contoh tentang apa yang harus diikuti para pakar bangunan Rusia di kemudian hari."

Gereja Ortodoks selalu hadir di Kremlin

Sejarawan Inggris, Merridale, menyebutkan gereja Ortodoks selalu hadir untuk mempersatukan pusat kekuasaan politik dan ikon kebudayaan Rusia, dua hal yang kelihatannya bertentangan.

Sebagai dampak invasi Mongol pada abad 14, para pemimpin federasi longgar Kievan Rus, yang saat ini menjadi Rusia, Ukraina, dan Belarus pindah ke Kremlin. Sebuah gereja dibangun di dekat Kremlin, yang kemudian dikenal sebagai Katedral St. Basil dengan kubah keemasan, sebuah gereja ortodoks yang selalu hadir sepanjang sejarah Kremlin.

"Putin memanfaatkan koneksi gereja dan Kremlin untuk membangun citranya, melebihi para Tsar sebelumnya," kata Merridale. "Dia berdoa dan menyulut lilin untuk dilihat publik dan menjalin kontak dengan para pemimpin gereja Ortodoks."

Ikon budaya Rusia

Kremlin juga selalu dijadikan tempat kediaman para Tsar. Namun, seiring dengan Revolusi Bolshevik pada 1918, untuk pertama kalinya Tsar digulingkan dan otoritas gereja ortodoks terputus. Kaum Bolshevik menguasai Kremlin.

Setelah itu para pemimpin komunis berkuasa dari Kremlin. Mereka membangkitkan lagi keunggulannya sebagai ikon budaya dan juga benteng pertahanan, baik dari serangan perang saudara, serangan pembunuhan, maupun pandemi mematikan.

Lenin selamat dari pandemi kolera, tifus, dan flu Spanyol. Ia punya kamar desinfeksi sendiri di sebelah kamar tidurnya. "Putin juga belajar dari Lenin untuk selamat dari pandemi saat ini. Pasalnya, Putin punya ketakutan luar biasa tertular COVID," kata sejarawan Inggris peneliti Kremlin itu.

Josef Stalin (1878-1953) yang jadi penerus Lenin, juga memanfaatkan sifat benteng pertahanan Kremlin. Setelah kasus pembunuhan terhadap salah seorang pengikut setianya, Stalin tidak memercayai siapapun. Ia mengusir seluruh "kamerad" dari Kremlin. Dimulailah era pembersihan dan proses pengadilan abal-abal. Sebuah era teror di Rusia.

Rusia Uji Coba Rudal Hipersonik Kinzhal

Putin salahkan Gorbachev

Perubahan terus melanda Uni Sovyet. Muncul tokoh reformasi Mikhail Gorbachev yang menggaungkan program Glasnost dan Perestroika di tahun 1990-an. Sebagai dampaknya, Uni Sovyet bubar. Kremlin sekali lagi jadi pusat kekuasaan Rusia.

Vladimir Putin yang naik jadi Presiden Rusia untuk pertama kalinya tahun 2000, membebankan tanggung jawab kepada Gorbachev untuk bubarnya Uni Sovyet.

Kini Kremlin di tepian sungai Moskva kembali jadi pusat perhatian dunia. Bendera Rusia berkibar dan dari luar Kremlin tampak kokoh dan penuh kekuasaan. Namun di dalam, ada bahaya, seseorang yang akan kalah total. "Putin kini menjadi orang yang dijaga paling ketat di Rusia. Tidak ada yang dapat menumbangkannya dengan cepat," pungkas Merridale.

(as/ha)

Stefan Dege
Stefan Dege Editor dan penulis di departemen DW Culture