Kosovo Setelah Lima Tahun Merdeka
17 Februari 2013Adrijana Hodzic setiap hari melewati sebuah panser, kalau pergi ke tempat kerjanya. Panser itu berjaga di pinggir jalan tepat di depan kantor Balai Kota Mitrovica Utara. Kantor itu dilindungi oleh pasukan internasional KFOR, yang ingin mencegah serangan kelompok politik ekstrim. Sebagian besar warga Serbia yang tinggal di Kosovo utara dan di bagian utara kota Mitrovica, tidak mengakui pemerintah pusat di Pristina. Mereka juga tidak mengakui pemerintah kota Mirovica yang mewakili pemerintah pusat. Sikap warga Serbia ini mendapat dukungan dari pemerintah Serbia di Beograd. Karena Serbia sampai saat ini tetap menolak mengakui Kosovo sebagai sebuah negara merdeka.
Perpecahan di Mitrovica
Adrijana Hodzic memimpin kantor balai kota di bagian Mitrovica Utara. ”Aturan hukum tidak berlaku lagi di sini”, kata wanita muda ini dengan nada pasrah. ”Selalu terjadi ketegangan. Hidup di sini melelahkan.” Sejak dua tahun, jembatan di sungai Ibar yang memisahkan bagian utara dan selatan kota Mitrovica ditutup dengan pembatas dari beton dan tumpukan batu dan pasir. Jembatan ini menjadi simbol sengketa politik di Kosovo yang tak kunjung berakhir.
Adrijana Hodzic tidak bisa memahami mengapa ada kebencian yang begitu dalam antara warga Albania dan warga Serbia di Kosovo. Ketika ditanya, dia merasa menjadi bagian etnis yang mana, dia tidak mau menjawab. Baginya, perbedaan etnis antara Serbia dan Albania tidak penting. Di Kosovo, etnis Albania merupakan warga mayoritas, sedangkan etnis Serbia adalah kelompok minoritas.
Upaya Membangun Saling Pengertian
Bagi kebanyakan warga Albania dan Serbia, Adrijana Hodzic adalah ”orang Bosnia”. Tidak mudah bagi orang yang masih muda untuk hidup di Mitrovica. Tapi ada juga contoh positif, misalnya kegiatan masyarakat yang menyebut dirinya ”Rock School”. Di sini warga Albania dan Serbia mencoba melakukan pertemuan untuk bermain musik bersama-sama. Aleksander Solic, warga Serbia berusia 23 tahun, adalah mahasiswa ekonomi yang gemar bermain musik. Di samping kuliah, ia bekerja di Rock School.
”Kadang-kadang saya seperti hidup di dua dunia yang berbeda”, kata Aleksander. ”Ada mentalitas yang berkembang untuk mengisolasi diri. Ini terjadi di kedua kelompok masyarakat. Mereka saling menutup diri.” Aleksander ingin mendirikan sebuah yayasan bersama kawan-kawan Albanianya di seberang jembatan Ibar. ”Tapi untuk saat ini, itu masih belum mungkin. Masih ada terlalu banyak ketakutan dan kebencian. Propaganda di kedua belah pihak membuat orang saling menjauhkan diri.” Kalau tidak sedang main musik, Aleksander dan kawan-kawannya di Rock School bisa berkomunikasi lewat email dan Facebook.
Diskriminasi di Jejaring Sosial
Selain anggota Rock School, jarang terjadi komunikasi antara warga Albania dan Serbia lewat internet dan jejaring sosial. Malah sebaliknya, mereka saling mengintimidasi. ”Banyak sekali gambar-gambar dan komentar menghina yang di posting di jejaring sosial, baik oleh pihak Serbia maupun oleh pihak Albania,” keluh Rinor Qollopeku, mahasiswa matematika yang berasal dari Mitrovica Selatan.
Hanya dalam satu hal, para remaja di utara dan selatan Mitrovica berpandangan sama: mereka mengharapkan masa depan yang lebih baik. Kosovo adalah negara termuda Eropa yang baru terbentuk tahun 2008. Penduduknya juga relatif muda. Usia rata-rata penduduk Kosovo 25 tahun. Lebih setengah dari penduduknya menganggur. ”Kami sebenarnya berharap, akan ada masa depan lebih baik dengan negara Kosovo yang baru”, kata Rinor Qollopeku. Tapi tetap saja masih ”orang-orang dari sistem yang lama” yang berkuasa di Kosovo. ”Yang kami punya sekarang hanyalah kemerdekaan kami”, ujarnya.