Kontroversi Kunjungan Sri Paus ke Jerman
22 September 2011Kunjungan Sri Paus ke Jerman juga mendapat suara kontroversi dalam media cetak. "Sebuah boikot yang memalukan.“ Demikian komentar harian Jerman Lübecker Nachrichten.
"Tidak seorang pun di parlemen yang harus menyetujui keyakinan Sri Paus. Persetujuan yang juga tidak diharapkan seperti halnya pidato tamu dari Vladimir Putin atau George W. Bush. Kunjungan itu mungkin bisa dilihat sebagai kesempatan lebih besar melakukan perdebatan terbuka mengenai ketidak beresan dalam institusi gereja Katolik. Bahwa orang sama sekali tidak mau mendengarkan pimpinan jutaan umat Katolik di Jerman hanya menunjukkan satu hal, tidak memiliki rasa hormat. Sri Paus kini memiliki peluang mengajarkan hal lebih baik kepada para pengritiknya. Bila ia mempergunakan peluang ini tidak hanya untuk berbicara tentang krisis kepercayaan, melainkan juga mengenai krisi di dalam institusi gerejanya. Itu akan menjadi jawaban yang benar untuk kesombongan yang begitu besar.“
Menjelang kedatangan Sri Paus harian Jerman Tagesspiegel menulis
"Agama menjadi faktor kekuasaan dalam dunia yang terglobalisir. Campur tangan terlalu besar aliran kepercayaan mana pun mengancam perdamaian, apakah itu dengan manipulasi secara politis ucapan Yesus atau ucapan para nabi. Di masa berjangkitnya Aids, larangan penggunaan kondom tampak bagaikan teror. Dan akhirnya kepercayaan dan institusi gereja bukan sesuatu yang sama. Kini semakin banyak orang sedang mencari, lebih dari sekedar apa yang dapat ditemukannya kembali pada struktur hirarki jender yang selama ini dikenal mereka.“
Harian Austria Die Presse berkomentar
"Kedatangan pria berusia 84 tahun berpakaian putih itu ke Jerman diiringi kejadian ini. Ratusan ribu akan mengelu-elukannya di jalan, di berbagai tempat dan stadion, 100 anggota parlemen akan pergi jika ia datang. Ribuan orang akan berdemonstrasi menentangnya. Tapi kebanyakan akan tidak peduli terhadapnya. Demikian kira-kira situasi di Jerman pada awal musim gugur tahun 2011. Situasi yang tidak akan berbeda dengan kawasan manapun di dunia yang memiliki perkembangan ekonomi tinggi. Apa pun yang dikatakan Benediktus ke-16, apa pun yang tidak diucapkannya, apa pun yang dilakukannya, apapun yang tidak dilakukannya. Sri Paus melihat dirinya saat ini semakin sering dikonfrontir dengan sebuah dunia tidak ber-Tuhan.“
Tema sorotan pers lainnya adalah perdebatan di Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai permohonan pembentukan negara Palestina. Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung berkomentar
“Apakah proses perdamaian akan dipercepat jika PBB mengakui Palestina sebagai negara? Sebuah resolusi Palestina dapat dan sebaiknya disetujui, jika hal itu membantu menemukan solusi dua negara. Argumen bahwa hal itu sebaiknya tidak dilakukan di Perserikatan Bangsa-Bangsa melainkan di meja perundingan, terlalu dangkal. Pertama, perundingan antara dua pihak yang berkonflik sudah lama tidak berlangsung dan kedua, pemerintah Israel saat ini tidak menunjukkan minat terhadap suatu solusi dua negara, melainkan lebih menunjukkan sabotase dengan pembangunan pemukiman ilegal. Penaikan status Palestina sebagai negara pengamat dapat dipandang sebagai tahap antara menuju negara Palestina berdaulat. Pada kenyataannya tidak ada alternatif untuk itu.”
Harian Perancis Le Figaro mengomentari usulan kompromi dari Presiden Perancis Nicolas Sarkozy untuk penaikan status Palestina dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa
“Dengan usulannya Sarkozy berusaha mencegah pengaruh fatal veto Amerika Serikat terhadap tindakan sepihak presiden otonomi Palestina. Mahmud Abbas tidak dapat memperhitungkan meninggalkan New York dengan surat kelahiran sepenuhnya. Dengan kondisi ini tidak penting menelefon Dewan Keamanan PBB . Paling bagus Abbas dapat mengharap status pengamat sebagai negara non anggota. Bagaimana juga dapat menghindari kemarahan Israel, yang tidak diajak berkonsultasi dalam masalah ini? Sarkozy memanfaatkan kesempatan ini untuk menghidupkan kembali proses perdamaian, yang gagal dilakukan Presiden Obama. Sebuah solusi hanya dapat dicapai lewat dialog.”
Dyan Kostermans/dpa/AFP
Editor: Yuniman Farid