Konflik Turki dan PKK, Pemilu di Argentina
30 Oktober 2007Harian Austria Der Standard yang berhaluan liberal berpendapat, Amerika Serikat tak dapat lagi mengacuhkan konflik antara Turki dan kelompok Kurdi itu. Selanjutnya harian ini menulis: Tekanan makin bertambah – dan Amerika sebagai satu-satunya pelakon yang dapat menggerakkan sesuatu dalam permainan berbahaya ini terjebak dilema: Dua sekutu Amerika, yaitu Turki dan kelompok Kurdi di Irak Utara, saling berhadapan. Siapa yang harus didukung oleh Washington? Bila hubungan Amerika Serikat dan Turki meregang, Amerika kehilangan basis untuk memasok kebutuhan militernya. Sementara Irak terancam perpecahan yang mungkin melahirkan negara Kurdi merdeka. Ini sama sekali tidak diinginkan baik Turki maupun Amerika. Namun, Amerika tetap berusaha mengulur waktu. Washington berharap, musim dingin segera mulai atau mungkin serangan bom Turki sudah cukup untuk menyelesaikan konflik ini. Tapi, selambat-lambatnya saat musim semi tiba akan tampak bahwa sikap tak acuh pada masalah ini tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Topik lain yang mendapat sorotan media internasional adalah pemilu presiden di Argentina. Senator Christina Fernandez Kirchner terpilih sebagai kepala negara Argentina menggantikan suaminya Presiden Nestor Kirchner.
Harian Prancis la Presse de la Manche mengomentari kemenangan Christina Kirchner sebagai berikut: Tampaknya rakyat Argentina yakin bahwa Christina Fernandez Kirchner adalah orang yang tepat untuk meneruskan kerja suaminya. Mungkin saja Nestor Kirchner akan bertindak sebagai penasehat bagi kepala pemerintahan yang baru. Tapi, mungkin juga Christina Kirchner berambisi untuk mengembangkan proyek-proyek baru sleama masa jabatannya. Psikologi manusia menyebabkan di dunia ini tidak atau suatu apapun yang pasti. Pemilu di Argentina menunjukkan bahwa tidak ada undang-undang atau konstitusi yang tidak dapat diakali. Memang, kehidupan nyata membawa fleksibilitas yang tidak dimilki undang-undang.
Harian Swiss Tages-Anzeiger membandingkan Christina Fernandez Kirchner dengan seorang politikus perempuan lainnya. Dalam tajuknya harian yang terbit di Zürich ini menulis: Christina Kirchner dan Hillary Clinton terutama punya satu kesamaan: selama separuh hidup mereka, mereka menjadi istri orang berkuasa. Sekarang, mereka ingin meraih kekuasaan itu. Kirchner sudah berhasil memcapai tujuan itu. Sebagai perempuan pertama yang terpilih menjadi presiden Argentina, Kirchner sudah pasti mendapat tempat dalam buku-buku sejarah negaranya. Tahun depan, Hillary Clinton bercita-cita untuk mengikuti jejak Kirchner. Kalau Clinton berhasil menjadi perempuan pertama yang memasuki Gedung Putih sebagai presiden – dan saat ini kansnya untuk terpilih tampak cukup besar – maka persahabatan antara kedua perempuan ini dapat menjadi berkat bagi seluruh Amerika, baik Amerika Utara maupun Selatan.