Kondisi Tempat Tinggal Migran di Jerman
19 Maret 2013Dengan kaos kaki berlapis tiga Adel Khalifi duduk di ruang tamu apartemennya di Bonn. Kaca jendela di belakangnya tidak terisolir baik, jadi ruangan tidak pernah benar-benar hangat meski pengatur pemanas ruangan sudah diputar penuh, kata Khalifi. "Bangunan di sini berusia 30 tahun dan sebagian berjamur," ujar menantu Khalifi, Sonja. Kalau kami mengadu akan dikirim orang yang mengatakan, oh itu tidak terlalu buruk, kalian bersihkan saja sedikit dan selesai. Setiap tahun selalu begitu." Ia menunjuk ke tempat di bawah lemari. "Pada kami lantainya saat ini sudah diganti, tapi apartemen lain di bangunan ini, semua masih tercemar asbes. Kondisinya buruk, tapi tidak direnovasi sama sekali."
Kebakaran di Backnang Picu Perdebatan
Di Backnang negara bagian Baden-Württemberg, saat terjadi kebakaran 10 hari lalu seorang perempuan Turki dan tujuh anaknya tewas. Penyidik menduga penyebabnya kerusakan teknis. Keluarga korban menuduh pemilik apartemen dan pihak berwenang Jerman. Sambungan listrik di apartemen itu sudah benar-benar buruk, tapi pemilik apartemen sama sekali tidak mengurusnya. Satu-satunya sumber pemanas di apartemen itu adalah oven kayu.
Kebakaran di Backnang memicu kembali pembahasan situasi tempat tinggal imigran di Jerman. Tahun 1970-an ini masih tema besar, sementara ini lebih sebagai subtema. Papar Sybille Münch, pakar hunian sosial dan imigrasi di Universitas Darmstadt. Ini juga berkaitan dimana kondisi apartemen hunian imigran beberapa tahun ini mendekati kondisi apartemen hunian warga non migran. "Meskipun begitu pengadaan ruang hunian di kalangan migran jauh lebih buruk dibanding penduduk tanpa latar belakang migran, misalnya jika menyangkut harga sewa," kata Sybille Münch kepada DW. Menurut laporan indikator integrasi pemerintah Jerman, warga berlatar belakang migran membayar 30 cent lebih mahal per meter persegi dibanding keseluruhan penduduk.
Keluarga Khalifi beranggotakan lima orang, tinggal di apartemen seluas 78 meter persegi. Dua tahun lalu mereka sudah meminta kepada perusahaan persewaan untuk apartemen lebih besar. "Tapi katanya, mereka tidak punya apartemen lainnya," ujar Ahmed Khalifi. Perusahaan itu menyewakan apartemen di seluruh Bonn dan Frankfurt. Tapi memang tidak ada daftar tunggu untuk apartemen yang akan kosong. "Mungkin di suatu tempat akan ada apartemen kosong, tapi orang tidak bisa mengetahuinya," tukas Sonja Khalafi. "Tentu saja banyak apartemen lebih besar, tapi kami tidak mampu membayar sewanya." Bahwa perusahaan persewaan itu cukup murah harga sewanya, menjadi salah satu penyebab banyaknya imigran yang tinggal di situ.
Diskriminasi juga menjadi alasan
Situasi tempat tinggal buruk para migran juga ada kaitannya dengan pilihan mereka bermukim terutama di kawasan padat dan karenanya terbentuk masalah pasar perumahan yang sulit, demikian Sybille Münch. Sering kali imigran juga berpendapatan lebih buruk dan punya anggota keluarga lebih besar dibanding mayoritas penduduk. "Tapi beberapa tahun terakhir makin jelas disimpulkan, ada juga diskriminasi dalam pasar perumahan." Pakar sosiologi itu mengisahkan sebuah kasus dimana "Planerladen" sebuah organisasi di kota Dortmund untuk mendorong planologi kota yang lebih demokratis, mengirimkan lamaran fiktif untuk menyewa rumah, dari imigran dan warga Jerman. Semua lamaran tidak memiliki kesalahan apapun, tapi lamaran fiktif dari warga Jerman jauh memperoleh tanggapan dibanding lamaran fiktif migran.