Kisah Buzzer Israel Kampanyekan Damai di Timur Tengah
14 Januari 2021Dari dalam kantor yang sempit dan dipenuhi peta Timur Tengah, sekelompok buzzer Israel melancarkan kampanye sosial media untuk memupuk penerimaan warga Arab terhadap negeri Yahudi tersebut.
Satuan tugas yang dibentuk Kementerian Luar Negeri itu menggunakan bahasa Arab untuk menyapa pengguna Facebook, Twitter atau Instagram. Mereka adalah bagian dari upaya diplomasi Israel pascanormalisasi hubungan dengan sejumlah negara Arab.
Namun meredakan permusuhan yang dibina selama beberapa generasi bukan tugas mudah. November lalu, sebuah unggahan swafoto selebriti Mesir, Mohamed Ramadan, bersama penyanyi pop Israel, Omer Adam, di Dubai memicu badai kecaman. Terutama Ramadan dijadikan sasaran amukan publik Mesir. Padahal unggahan itu dibubuhi kalimat "seni menyatukan kita semua.”
Pejabat Israel mengakui tantangan yang diemban para buzzer pemerintah, terlebih ketika lini masa media sosial kadung dipenuhi konten pro-Palestina, atau bukti visual pelanggaran HAM oleh tentara pendudukan.
Yonatan Gonen yang mengepalai unit media sosial berbahasa Arab di Kemenlu mengatakan, foto Mohamed Ramadan diunggah untuk mempromosikan "normalisasi” antara bangsa Arab dan Israel. Dia mengaku badai kecaman di media sosial memang mengecewakan, tapi menyadari prosesnya "membutuhkan waktu, orang mengubah pola pikirnya selama beberapa generasi.”
Harapan diutarakan Ofir Gandelman, juru bicara perdana menteri Israel. Menurutnya kini semakin banyak warga Arab yang melihat Israel sebagai sekutu, ketimbang musuh. "Ketika perdamaian regional meluas, kemampuan berbicara dengan negara jiran dalam bahasa mereka sendiri menjadi sangat penting,” kata dia.
Tapi Dr. Ala'a Shehabi, peneliti Inggris berdarah Bahrain di London, mengatakan sentimen publik Arab masih pro-Palestina. Ihwal kampanye buzzer Israel, dia mengatakan "tidak bisa dikatakan sukses jika kampanye ini belum bisa mengubah pandangan umum.”
Diplomasi digital jangka panjang
Israel membutuhkan dukungan publik Arab terhadap kesepakatan damai yang ditandatangani baru-baru ini. Namun kesepakatan serupa yang sudah dijalin dengan Mesir sejak 1979 atau Yordania sejak 1994, hingga kini belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat.
Oktober lalu, Kementerian Urusan Strategis melaporkan, antara Agustus dan September 2020 tercatat lebih dari 90 persen unggahan berbahasa Arab di media sosial membiaskan "normalisasi” sebagai hal negatif.
"Israel harus menyiapkan kampanye online jangka panjang untuk meyakinkan bangsa Arab agar mendukung kemitraan yang lebih kuat dengan Israel,” begitu bunyi penggalan laporan tersebut, seperti dilansir Reuters. Seorang pejabat kementerian mengklaim, pada Januari jumlah unggahan negatif terkait normalisasi, anjlok sebanyak 75 persen.
Saat ini tim itu memublikasikan sekitar 700 unggahan media sosial per bulan. Jumlahnya meningkat 20 persen setelah perjanjian normalisasi ditandatangani, tutur Gonen.
Salah seorang anggotanya, Lorena Khateeb, pernah mengunggah foto dirinya berbalut bendera Israel, "tidak pernah terbayang saya bisa mengibarkan bendera Israel di negara Arab,” katanya 21 November lalu dalam bahasa Arab dan Inggris. Beberapa hari kemudian, akun @IsraelintheGulf mengunggah ulang foto tersebut.
Minim dukungan warga umum
Gonen mengatakan tujuan kampanye adalah menciptakan "pertukaran, interaksi dan dialog” dengan audiens Arab. Dia mengklaim mampu mencapai 100 juta pengguna setiap bulan, meningkat dua kali lipat ketimbang tahun sebelumnya.
Akun Twitter utama kelompok ini bernama @IsraelArabic dan diikuti oleh lebih dari 425.000 pengguna.
Michael Robbins, serang peneliti Arab Baromoter, lembaga survey independen, mengatakan jajak pendapat pascanormalisasi di Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Yordania dan Libanon mengindikasikan upaya Israel "tidak berdampak banyak pada pandangan umum masyarakat biasa,” kata dia.
Menurutnya sikap politik warga terhadap Israel di negara-negara itu tidak banyak berubah selama setahun terakhir.
"Secara keseluruhan, hasil ini mengindikasikan strategi Israel untuk meyakinkan penduduk tidak berhasil. Hanya sedikit warga Arab terlepas dari usia atau lokasi geografi yang punya pandangan positif terhadap Israel,” tukas Robin.
rzn/gtp (Reuters)