Indonesia benar-benar didikte, tak berkutik, tak berdaya di kandang Irak, di Basra International Stadium yang diluberi 65.000 penonton, Kamis (16/11).
Ya, Indonesia ditekuk 5-1 (2-1), telak, skor yang di luar perkiraan, mengingat sederet nama populer menghuni skuad asuhan Shin Tae-yong.
Gol demi gol; Rasan, bunuh diri J. Amat, O. Rashid, Y. Amyn dan Ali Al-Hamadi yang merobek-robek gawang Nadeo Aegawinata, menjelaskan bahwa Garuda kalah kelas.
Ada gol Shayne Pattynama, dari usaha keras Ragael Struick, tapi itu tak cukup mengangkat moral Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan.
Mengapa kalah begitu telak?
Lini kedua, lini paling sentral, menjadi titik lemah. Ivar Jenner dan Marselino, dua midfielder keren yang absen, memunculkan lubang di tengah.
Ada Adam Alis, yang diduetkan dengan Marc Klok sebagai double pivot, tapi kalah bersaing dengan Rashid yang mobilitasnya bikin geleng-geleng.
Ricky Kambuaya pun tidak jalan hingga suplai untuk Dimas Drajat dan Dendy miskin.
Babak kedua, saat skor 2-1, Arkhan Fikri dan Saddil Ramdani masuk mengganti Ricky dan Adam. Bahkan Klok juga diganti Witan.
Deretan pergantian ini juga penjelasan eksplisit: Shin Tae-yong bermasalah dengan lini kedua.
Saya heran, sekaligus mempertanyakan, kenapa nama seperti Stefano Lilipaly yang gacor di domestik dengan sembilan gol, diabaikan Shin Tae-yong. Hmm.
Baiklah. Saat ini posisi Indonesia terpuruk di Grup F. Tapi baru satu game. Dan yakinlah, Indonesia belum kiamat untuk lolos ke putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026. Masih ada lima game lagi dan yang terdekat vs Filipina di Manila, 21 November.
Masih ada waktu. Masih ada kesempatan. Masih ada peluang. Teruslah berbenah, sebab sepak bola bukan hanya urusan kalah atau menang, tapi sebuah desain yang panjang. Dan tidak ada habisnya.
Dan itu tugas Shin, termasuk memikirkan rehat yang sempit, terbang dari Basra ke Manila sambil mengevaluasi skuadnya.
Tentu ini juga berlaku untuk Indonesia U17, yang ditekuk Maroko 3-1, hanya berada di peringkat ketiga Grup A dan persentase peluang lolos super duper tipis.
Sakit memang menyaksikan Piala Dunia tanpa kehadiran tim tuan rumah, Garuda Asia. Tapi ada gairah lain yang mesti ditumbuhkan: kehidupan sepak bola memang indah.
Tinggal bagaimana Federasi menata ulang: kompetisi junior yang berkelanjutan adalah vital.
Kita sudah cukup, beraksi di Piala Dunia U17 - meski itu give away, tapi hebatnya bisa meraih dua poin, menahan imbang Ekuador dan Panama.
Selebihnya adalah evaluasi. Di segala sisi. Di segala lini.
Sebab, sepak bola adalah cinta.
Hardimen Koto: pengamat, analis dan komentator sepak bola
*tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis.
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang akan kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Kirimkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.