Sayap Perempuan yang Tersandera
7 Maret 2016Merasa berparas kurang ideal, "bermata sipit, berkulit hitam, dan berpipi tembem," demikian seorang penari dangdut menggambarkan "potret dirinya" sebelum menjalani berbagai perawatan wajah dan tubuh habis-habisan. Mulai dari botox, ‘setrika wajah', sampai ‘tanam benang'. Tak hanya itu, operasi plastik berulang kali yang menguras kocek ratusan juta rupiah, menjadi pilihan berikutnya. Ia rela jalani proses-proses tersebut, dan menyebutkan, "Ini kan untuk suami saya, demi suami dong …. Alasan besarnya, biarlah hanya saya dan Allah yang tahu," aku sang penyanyi dangdut itu.
Hasilnya, lanjutnya, "Suami saya (mengaku) kadang gak percaya, katanya (saya jadi) kayak orang bule. Dulu saya jelek banget, pipi chubby, (kulit) hitam, mata sipit. Sekarang dia suka elus pipi. Kodratnya wanita memang pengen cantik."
Tak cuma sang penyanyi dangdut, beberapa penyanyi pop negeri ini, blak-blakan mengaku menjalani operasi pembesaran payudara, dengan beragam alasan. Seorang teman, yang baru berusia 21 tahun, bukan artis, belum menikah, juga menjalani operasi yang sama. Saya tertegun. “Untuk apa?” tanya saya. Perempuan campuran Indo-Belanda itu menurutku berparas cantik. Ia sehari-hari berjualan makanan lewat online . Ia menjawab pertanyaanku, “Disuruh pacar, biar dia senang. Lagi pula, payudara saya memang kecil, gak seperti punya teman-teman.”
Teman saya ini mengaku menjalani operasi di Bangkok, Thailand. “Bareng teman-teman, empat orang. Liburan, sekalian operasi,” ujarnya. Bangkok dipilih karena menurutnya, “Sudah banyak teman yang melakukannya di sana. Katanya lebih oke, dan lebih aman. Juga karena ada paket murah, tur ke sana sekalian operasi payudara.”
Yang menakjubkan, meski sang pacar yang menyuruh, seluruh biaya ditanggung oleh teman saya ini. Bukan oleh pacarnya. “Gak apa-apalah. Gak sampai Rp20-an juta. Toh, untuk keseksian saya juga. Untuk menyempurnakan penampilan saya,” akunya sambil menyebut ukuran bra-nya saat ini. Dari dia juga saya tahu, bahwa ia menjalani operasi pembesaran payudara itu bukan di sebuah rumah sakit. Melainkan klinik kecil yang terselip di keramaian kota Bangkok. “Langganan orang Indonesia,” tukasnya sambil tersenyum.
Saya jadi teringat sebuah bacaan lama, bahwa dulu, urusan perempuan Jerman pun tidak jauh dari sebatas “dapur”, namun juga mengurus anak, termasuk dalam menanamkan nilai-nilai moral dan gereja. Kinder (Anak), Küche (Dapur), dan Kirche (Gereja). Namun katanya, seiring perjalanan waktu dan pergerakan kaum feminis, konsepnya menjadi Kinder; Küche; Kammermusik (Chamber Music), dan berubah lagi menjadi Kinder, Küche, Karrier (Pekerjaan).
Bagaimana dengan perempuan Indonesia?
Konsep sejenis juga ada. Kita kerap mendengar, "Urusan perempuan itu sebatas ‘Dapur', ‘Kasur' dan ‘Pupur' (bedak)." Harus bisa masak, melayani suami dengan baik dan memuaskan, juga harus pandai merawat kecantikannya demi suami. Ada pula yang menyebutnya dengan konsep "Dapur, Sumur, Kasur".
Sebentuk ajaran kepada istri agar memberikan hikmat (pelayanan) kepada suami sebagai bentuk bakti, penghormatan dan cinta kasihnya. Bisa masak, wajib menjaga kebersihan badan, pakaian dan rumah (sumur adalah simbol sumber air bersih dan jernih), dan harus memuaskan suami di ranjang.
Potret perempuan di sejumlah media, termasuk media perempuan sendiri, tak jauh beda. Ia disimbolkan sebagai "5P". Makhluk yang harus tampil cantik (Pigura), harus bisa memuaskan suami (Peraduan), harus pandai memasak (Pinggan), juga sosok yang senang bergunjing, sehingga tayangan gosip (infotainment) ditaruh pada jam-jam saat perempuan berada di rumah (sebelum mengantar anak sekolah, dan saat sedang memasak sambil menunggu anak dan suami pulang kerja) yang disimbolkan dengan P ke-4, ‘Pergaulan'.
Perempuan 'ideal' dalam kacamata pria
Tapi, perempuan jaman sekarang, diakui juga sebagai sosok yang mampu menjadi ‘Pilar', tiang keluarga, termasuk dalam soal ekonomi. Meski ‘P' kelima ini kerap tenggelam dalam hiruk pikuk potret ‘4P' lainnya.
Apakah "posisi" ini membahagiakan perempuan, di saat dunia sudah merayakan Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial sejak 1911, dan disponsori PBB sejak 1975?
Sebagai lelaki, saya hanya bisa bergumam: sungguh tak mudah menjadi perempuan, di tengah masyarakat dunia yang masih nyaman menggunakan "kacamata" laki-laki. Satu sayapnya dibolehkan terbang kemana saja, tetapi satu sayap lainnya terus “disandera” di dalam rumah.
Penulis:
Maman Suherman adalah konsultan kreatif acara televisi, penulis buku di bawah kelompok KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Sebelumnya merupakan Pemimpin Redaksi di Kelompok Kompas Gramedia (1986-2003); Direktur Operasional dan Managing Director di Rumah Produksi/Biro Iklan Avicom - Auvikomunikasi Mediaprima (2003-2011) menghasilkan lebih dari 50 judul acara televisi berbagai genre, juga iklan.
@maman1965
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Silakan tulis komentar dan pendapat Anda atas artikel ini di forum diskusi.