Praktek Sensor Kembali ke Indonesia Lewat Ubud
26 Oktober 2015Panitia Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) mendapat tekanan dan ancaman untuk membatalkan beberapa acara yang berkaitan dengan peristiwa pembantaian massal 1965/1966.
Beberapa acara yang direncanakan terpaksa dibatalkan, antara lain diskusi, peluncuran buku dan pemutaran film. Film yang dilarang tayang adalah Senyap (The Look of Silence) arahan sutradara AS Joshua Oppenheimer, yang sudah memenangkan berbagai penghargaan internasional.
Acara lain yang dibatalkan adalah pameran foto yang dikurasi oleh Asia Justice and Rights (AJAR) dan peluncuran tiga buku terbitan Herb Feith Foundation (HFF) dari seri: ‘Translating Accounts of 1965-66 Mass Violence in Indonesia', suntingan Katharine McGregor dan Jemma Purdey. Beberapa panel tentang karya-karya sastra berlatar belakang peristiwa 1965 juga dibatalkan.
Tiga buku terbitan HFF yang dilarang didiskusikan, adalah:
- Forbidden Memories: Women's experiences of 1965 in Eastern Indonesia, Editor: Mery Kolimon, Liliya Wetangterah and Karen Campbell-Nelson
- Breaking the Silence: Survivors Speak about 1965–66 Violence in Indonesia, Editor Putu Oka Sukanta
- Truth Will Out: Indonesian Accounts of the 1965 Mass Violence, Editor Dr Baskara T Wardaya SJ.
Panitia UWRF mengumumkan pembatalan acara-acara terssebut hari Jumat lalu (23/10/15), karena jika tidak, polisi lokal mengancam akan membatalkan seluruh acara, sekalipun acara tersebut sudah mendapat ijin dari kepolisian nasional.
Sebelum penyensoran di Festival Ubud, terjadi juga pembredelan majalah mahasiwa LENTERA di Salatiga.
Penyensoran di Ubud dan Salatiga ramai dibicarakan di media sosial, tapi hanya mendapat sedikit tempat dalam pemberitaan media nasional. Penulis-penulis Indonesia yang baru saja tampil di Frankfurt Book Fair dengan buku berlatar belakang peristiwa 1965 seperti Leila S Chudori dan Laksmi Pamuntjak, mengecam keras praktek sensor itu.
Laksmi Pamuntjak menulis dalam status Facebooknya, penyensoran di Ubud dan Salatiga. "Sangat memprihatinkan terjadinya re-militerisasi dalam praktek pemerintahan, 17 tahun setelah dikotomi antara pemerintah versus masyarakat sipil mulai pupus. Lagi-lagi retorika anti komunis menjadi preteks untuk penindasan, sesuatu yang kita pikir sudah hilang kekuatannya setelah kejatuhan Suharto -- ternyata kembali!"
Hp (afp, rtr, HFF)