Keterlibatan Militer Menuju Fase New Normal Tuai Tanda Tanya
16 Juni 2020Presiden Joko Widodo menekankan bahwa dirinya ingin TNI/Polri ada di setiap keramaian-keramaian untuk lebih mendisiplinkan masyarakat, agar mengikuti protokol kesehatan menuju fase new normal atau normal baru. Sebanyak 340.000 personel TNI/Polri kemudian dikerahkan ke empat provinsi dan 25 kabupaten/kota terkait dengan kebijakan normal baru yang diberlakukan pemerintah tersebut.
Namun langkah ini memicu pro kontra, sebagian memandang hal ini sebagai sesuatu yang wajar sementara sebagian lain mengkritisi urgensi pelibatan TNI dan Polri. Terutama dalam hal keterlibatan TNI yang semestinya harus terukur dan sesuai dengan ketentuan hukum serta tata cara pelibatan mendisiplinkan masyarakat.
Kepada DW Indonesia, pengamat pertahanan dan militer, Connie Rahakundini Bakrie menilai pemerintah harusnya menetapkan masalah virus corona sebagai darurat militer dan melibatkan militer sedari awal.
‘‘Kenapa enggak dari awal militer diturunkan? Karena kan yang paling penting dari operasi TNI baik perang maupun non-perang, tentang pandemi ini pada prinsipnya containment (red: pembendungan) tidak dilaksanakan. Kenapa containment? Karena pemaksaannya bisa internal dan jangka waktunya terukur oleh publik. Militer di mana pun dilibatkan seperti Italia, Inggris, dan negara lainnya,‘‘ jelas Connie saat diwawancarai DW Indonesia.
Menurutnya, dari sejumlah kebijakan yang sudah diterapkan pemerintah sesungguhnya sudah termasuk semi darurat militer dengan indikasinya adalah penutupan gedung-gedung, tempat hiburan, mengatur badan pemerintah sipil, melarang dan membatasi lalu lintas darat, laut, udara, membatasi pertunjukan apa pun, hingga mengusir orang dari kerumunan.
Penyebaran wabah corona sudah seharusnya membutuhkan penanganan yang lebih serius melalui prinsip salus populi suprema lex esto (keselamatan rakyat hukum tertinggi). Namun apabila melihat kondisi saat ini, ia menilai penanganan wabah COVID-19 ini tidak disertai dengan cara dan koordinasi yang komprehensif, hal ini didasari atas pemahaman bahwa menghadapi pandemi itu sama saja dengan perang.
‘‘Ini perang, bukan main-main dampaknya sudah ke seluruh dunia. Jadi menurut saya ini sudah bertumpukan, ada masalah keterlambatan juga. Nah sekarang tiba-tiba saya pikir baik-baik saja kok sekarang baru mau diberlakukan? Kalau saya bilang sih yang terjadi adalah kegagapan negara dalam memberlakukan kondisi state of emergency,‘‘ ucapnya.
Keterlibatan militer hendaknya dilakukan dengan pertimbangan matang berkaitan dengan aspek mitigasi krisis, dampak terhadap masyarakat, profesionalisme TNI itu sendiri, dan kesesuaiannya dengan ketentuan hukum.
Pentingnya menambah jumlah Kodam
Connie yang juga dosen Universitas Pertahanan Indonesia ini, menilai yang penting dilakukan ke depannya adalah menambah jumlah Kodam (Komando Daerah Militer).
‘‘Kalau mau bicara ke depan ya, terlepas dari sekarang seharusnya kita belajar banyak dari kasus ini. Menurut saya yang harus turun sekarang di depan itu Kodam. Penambahan jumlah Kodam tidak bisa ditawar lagi mengingat jumlah provinsi ada 34 sementara Indonesia hanya memiliki 15 Kodam, harus dibentuk 19 Kodam baru,‘‘ tegas Connie.
Penguatan TNI Angkatan Darat terutama Kompi Zeni Nubika (divisi nuklir, biologi, dan kimia) harus dilakukan, untuk monitoring survei konfirmasi kontaminasi dan evakuasi.
Sebagai informasi tambahan, TNI AD telah mengerahkan para prajurit Zeni Nubika untuk melakukan mitigasi, ekstraksi, triase, dan dekontaminasi di Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Mereka bekerja di balik layar dalam penanganan wabah corona yang sebelumnya juga sudah ditugaskan saat karantina WNI dari Wuhan, Cina. (ha/rap)