Ketegangan Politik Bayangi Peringatan 11 September
12 September 2010Sabtu pagi (11/9) pendeta fundementalis Terry Jones membatalkan rencananya untuk membakar Al-Quran. Kepada stasiun televisi NBC ia menjanjikan, "tidak hari ini dan tidak hari lain kami membakar Al-Quran.“
Sebagai alasan pembatalan rencana itu Jones menyebutkan, tujuannya untuk menghimbau bahwa di dalam Islam terdapat elemen-elemen radikal terwujud dan Tuhan yang mengisyaratkan kepadanya untuk menghentikan aksi tersebut.
Meskipun dibatalkan, rencana Jones tetap ditiru kalangan lain, namun jumlahnya sangat kecil. Di internet muncul video yang menunjukkan pembakaran sejumlah Al-Quran. Atau dalam video lain nampak bagaimana dua orang di depan Gedung Putih merobekkan beberapa halaman dari Al-Quran, kemudian membuangnya ke tempat sampah. Namun semua itu terjadi jauh dari kamera televisi, sehingga tidak menciptakan kehebohan.
Bagaimanapun juga, peringatan 11 September kali ini dibayangi ketegangan politik dan agama. Situasi seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Karena itu, nada himbauan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, agar warganya bersatu dan berjuang demi kebebasan dan toleransi beragama, terdengar mendesak.
Dalam pidatonya Barack Obama mengatakan, "Para pelaku teror 11 September dengan aksinya hendak menghasut untuk memicu sebuah konflik antar agama. Tetapi, AS tidak pernah berperang dengan Islam dan tidak akan pernah. Bukan agama yang menyerang kami September itu. Akan tetapi, Al-Qaida. Segenggam orang menyalahgunakan agama.“
Peringatan 11 September kali ini sungguh berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, khususnya di New York. Dengan meneteskan air mata saat menghadiri upacara peringatan di Ground Zero sebagian keluarga korban menuntut agar peringatan ini jangan dijadikan tempat untuk melakukan diskusi politik, akan tetapi untuk mengenang para korban.
Sedangkan keluarga lainnya, dengan membawa poster menentang rencana pembangunan pusat kebudayaan Islam dekat Ground Zero, menjadikan peringatan ini sebagai kesempatan untuk mengangkat suara. Dalam hanya beberapa jam, suasana peringatan di New York diwarna aksi protes politik.
Satu kubu berdemonstrasi menentang rencana pembangunan pusat kebudayaan itu, sedangkan satu kubu lagi mendukungnya. Seorang warga menuturkan, "Pusat kebudayaan dan mesjid itu seharusnya dibangun di tempat lain. Kalau tidak, pembangunannya ibarat sebuah tamparan muka bagi keluarga yang kehilangan saudaranya."
Sementara Sara Flounders yang mengorganisir aksi unjuk rasa mendukung pembangunan tersebut mengatakan, "Kami tidak bisa berdiam saja, jika kebencian dan rasisme disebarkan. Kami tidak boleh memberi pesan kepada para teroris, bahwa di sini tidak ada tolerensi dan kami menyirikkan warga Muslim."
Kalangan Muslim di AS mengatakan, tidak pernah mengalami suasana seperti ini dimana mereka semakin dimusuhi oleh warga lainnya. Bahkan tidak setelah tragedi 11 September 2001, ketika presiden AS saat George W. Bush menyerukan untuk tidak menyalahkan Islam sebagai pelaku peristiwa itu.
Dalam peringatan sembilan tahun 11 September tidak hanya luka lama yang terbuka lagi, akan tetapi hilangnya kebersatuan yang selalu mewarnai upacara peringatan sejak tahun 2001. Terutama bagi keluarga yang kehilangan saudaranya, peringatan kali ini merupakan yang terberat.
Sabina Müller / Andriani Nangoy
Editor: Marjory Linardy