Seberapa Bahayanya Sepsis
29 Oktober 2022Silvana Schumann pernah mengalami serangan sepsis. Darahnya terkontaminasi mikroorganisme. Ibaratnya mukjizat, bahwa dia masih hidup.
Segalanya berawal dari gejala yang menyerupai flu berat. Dia mengalami demam tinggi, batuk berat, dan merasa lemah. Tim penolong dari ambulans yang ia panggil segera menyadari, hidup Silvana Schumann terancam.
Dalam kasus serangan sepsis, waktu memegang peranan sangat penting. Seperti halnya pada serangan jantung dan stroke.
Gejala awal seperti demam tinggi dan denyut nadi sangat cepat tidak bisa jadi petunjuk tepat, karena tidak spesifik, dan bisa merujuk ke penyakit lain. Namun, di kepala kita ibaratnya terdengar alarm berdering kencang, jika nafas semakin cepat, tekanan darah merosot tajam, dan kita mulai merasa kebingungan.
Dokter perawatan intensif Prof. Michael Bauer mengungkap perasaan sakit biasanya jadi semakin berat. "Pasien kemungkinan akan mengatakan bahwa dia belum pernah merasa sesakit saat itu."
Tubuh memberikan peringatan dini
Menurut Profesor Bauer, itu gejala peringatan dini. Kemudian nafas akan semakin cepat dan tekanan darah menurun drastis. "Jika itu terjadi, orang akan melihat tanda-tanda serangan sepsis dan langkah terarah harus diambil," begitu ditegaskan Michael Bauer.
Penyulut sepsis biasanya bakteri, misalnya di dalam paru-paru. Sistem kekebalan tubuh tidak bisa mengontrol infeksi. Bakteri ini menyebar dalam jumlah besar dan memproduksi gas beracun. Lewat peredaran darah bakteri menyebar ke berbagai organ tubuh dan menyulut infeksi.
Masalahnya, laboratorium butuh waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari untuk bisa mengidentifikasi bibit penyakit. Waktu sebanyak itu, tidak dimiliki baik oleh dokter maupun pasien.
Rumah Sakit Universitas Jena sudah mengembangkan sebuah proses, di mana lewat analisa air seni, dalam waktu beberapa jam saja sudah diperoleh kejelasan. Hanya kalau orang tahu, bakteri mana yang bertanggungjawab untuk sepsis, orang bisa menangani dengan cepat dan terarah.
Penting untuk mengetahui bakteri
Prof. Jürgen Popp yang menjabat sebagai direktur bidang ilmiah pada Klinik Universitas Jena mengungkap, jika bakteri sudah diketahui, dokter kemudian akan mampu memberikan terapi secara terarah.
Artinya: dia tahu bibit penyakitnya, tahu apakah kuman resistan terhadap antibiotik, dan dia bisa mencari terapi antibiotika yang sesuai. "Akhirnya pasien akan mendapat terapi yang benar-benar diperlukan." Demikian dijelaskan Prof. Jürgen Popp.
Ketika Silvana Schumann berjuang demi hidupnya, tes kilat seperti itu belum ada. Karena antibiotika pertama tidak menolong, infeksi yang diderita Silvana Schumann tidak terkontrol lagi, dan ia mengalami syok sepsis.
Sistem kekebalan tubuhnya memerangi tubuhnya sendiri. Memang, sistem memproduksi antibodi untuk melawan bakteri. Namun, jika sepsis sudah memasuki tahap berat, di dalam tubuh terdapat banyak bakteri, sehingga sistem kekebalan tubuh juga melepas antibodi dalam jumlah sangat besar.
Ini akhirnya merusak dinding pembuluh darah. Cairan kemudian memasuki jaringan. Dan darah mengental, sehingga tidak bisa mengangkut oksigen lagi. Akibatnya, organ tidak bisa berfungsi normal.
Silvana Schumann masih beruntung. Dokter-dokternya mengombinasikan berbagai antibiotika untuk menghentikan infeksi. Dan itu ternyata ada hasilnya, tapi dengan itu saja, dia belum berhasil melewati bahaya. Selama beberapa pekan dia koma. Ketika dia terbangun, segalanya sudah berubah.
"Dengan cepat saya sadar, seluruh tubuh lumpuh," begitu cerita Silvana Schumann. Dia tidak bisa berbicara akibat pemotongan saluran udara di leher. "Saya merasa tidak bisa apa-apa. Hanya bisa mengharap bantuan orang lain."
Sekarangpun dia tetap merasakan sakit, juga gangguan konsentrasi dan kerap migren. Hidup sehari-hari rasanya berat. Itu semua adalah efek keracunan darah yang muncul belakangan. (ml)