Kendala Jurnalis Asing di Cina
31 Januari 2012Ada beberapa tempat yang tak bisa dimasuki sama sekali. Misalnya di pos pemeriksaan militer di provinsi Sichuan, perbatasan dengan Tibet. Tentara memeriksa paspor, mengamati visa jurnalis dan menggelengkan kepala.
Tibet tertutup bagi wartawan asing, dulu maupun sekarang. Tetapi sejak 2009, aparat keamanan membangun penghalang jalan di Sichuan. Ketika pekan lalu kerusuhan terjadi lagi di kawasan ini, jalan-jalan kembali ditutup. Selama ini tidak ada wartawan yang boleh masuk ke daerah kerusuhan.
Waktu yang tak tepat
Kendala dan kontrol semacam ini merupakan keseharian di Cina. Wartawan asing sulit untuk tidak dikenali. Setiap hotel memeriksa visa wartawan, lalu melaporkannya kepada aparat. Menjadi lebih sulit jika terkait orang yang diwawancara. Sumber yang merasa diawasi aparat akan menolak pertanyaan dari jurnalis asing.
"Tak ada wawancara, ini bukan waktu yang tepat untuk bicara", kata saudara lelaki Liu Xiaobo, pemenang Nobel Perdamaian yang di penjara.
Maksudnya, ia tak mau bicara karena alasan keamanan. Keluarga Liu Xiaobo diawasi ketat, saluran telepon disadap.
Undangan minum teh
Belum lagi sensor. Di Cina orang harus membaca yang tersirat, selalu bertanya apa yang tak boleh diberitakan. Harus belajar, kode apa yang digunakan di internet, untuk menghindari sensor. Siapa yang 'diundang minum teh' biasanya berarti dipanggil ke kantor polisi. Jika sesuatu 'diharmoniskan" berarti disensor.
Kontak dengan dinas pemerintah menuntut syaraf baja. Berkali-kali menelepon, mengirim faks dan tetap tak ada jawaban. Sebuah topik, polusi udara misalnya, bisa dibahas tanpa sensor di media dalam negeri. Tapi kepada wartawan asing, hampir semua pejabat tutup mulut.
Ada banyak konferensi pers dimana wartawan asing tidak diundang. Kecuali, konferensi pers di kementrian luar negeri Cina. Para juru bicara, Liu Weimin, Hong Lei, Jiang Yu, setiap hari menghadapi pertanyaan para wartawan asing. Tapi jawabannya seringkali tak ada. Atau singkat, "Silahkan hubungi pejabat terkait". Bahwa pejabat yang dimaksud akan tutup mulut, mereka tidak peduli.
Mei banfa
Tapi Cina juga bisa hangat, ramah dan terbuka. Rumah petani di sebuah desa di luar Beijing ini menawarkan tempat terhangat, di samping tungku, pada suatu hari yang beku di musim dingin. Pemilik rumah menawarkan makanan, pembicaraan diringi tawa, kebijakan politik dimaki. Tak ada topik yang tabu. Mereka membuka rumah dan hati mereka.
Seperti di negara-negara lain dimana kebebasan dibungkam, di Cina tetap ada orang yang bersedia mengambil resiko untuk mengungkap kondisi buruk di negaranya, demi mempertahankan kemerdekaan dan martabat mereka. Dan berjuang agar tidak kehilangan keberanian untuk hidup, dalam keadaan terburuk sekalipun. Mei banfa, kata mereka, ya begitulah.
Ruth Kirchner/ Renata Permadi
Editor: Hendra Pasuhuk