1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa NATO Masih Membutuhkan Turki?

25 April 2024

Loyalitas Turki sebagai anggota NATO kian dipertanyakan sebagai buntut polemik keanggotaan Finlandia dan Swedia, serta kedekatan dengan Cina dan Rusia. Namun kendati sarat perbedaan, NATO belum bisa bercerai dari Turki.

https://p.dw.com/p/4f84J
Militer Turki di perbatasan Irak
Militer Turki di perbatasan Irak, 2017Foto: Fatih Aktas/AA/picture alliance

Bukan hitam atau putih, "relasi antara Turki dan NATO cendrung berada di wilayah abu-abu," kata analis politik Selin Nasi dari London School of Economics and Political Science, Inggris.

Pemerintah di Ankara membina kedekatan dengan Rusia, Cina dan juga Iran, yang memicu polemik soal loyalitas Turki sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Tekanan itu diperkuat oleh intervensi militer Turki di Suriah Utara pada 2018 atau pemblokiran keanggotaan Finlandia dan Swedia.

Militer terbesar kedua NATO

Turki, seperti banyak negara lain, memilih bersekutu dengan Barat ketika diktatur Rusia Josef Stalin berusaha mengklaim wilayah Turki untuk Uni Sovyet pada 1952. Klaim tersebut dicabut oleh Moskow setahun kemudian menyusul wafatnya Stalin.

"Turki adalah negara yang sangat penting bagi aliansi ini,” kata Zaur Gasimov dari Universitas Mainz, Jerman. Di NATO, militer Turki merupakan kontingen terbesar kedua setelah Amerika Serikat dan bertugas mangawal wilayah tenggara Eropa. Turki juga menampung dua pangkalan udara utama NATO di Incirlik dan Konya.

"Angkatan bersenjata Turki adalah salah satu dari sedikit militer di NATO yang memiliki pengalaman tempur secara langsung. Turki juga semakin diperhitungkan karena mengembangkan teknologi militernya sendiri, "kata Gasimov.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Tren "emansipasi" kebijakan luar negeri

Menurut analis, langgam Ankara yang acap bertindak sendirian dan di luar koordinasi NATO sudah sesuai dengan tren geopolitik global. "Otonomi strategis adalah konsep yang sangat disukai Ankara," kata Nasi dari London School of Economics and Politics.

"Realitanya adalah, kebijakan luar negeri Turki semakin independen sejak beberapa tahun terakhir. Tren ini akan terus berlanjut," imbuhnya. "Turki bukan satu-satunya negara yang semakin bebas menentukan nasib. Fenomena ini adalah hasil dan perubahan global dan pergeseran kekuatan dari Barat ke timur. Dan hal ini juga berlaku bagi semua sekutu AS," kata dia.

Gasimov juga mengamati tumbuhnya "emansipasi" dalam kebijakan luar negeri Turki selama dua dekade terakhir. "Dinamika dalam hubungan internasional menunjukkan bahwa dunia kini cenderung berpikir dalam kategori hibrida. Artinya, Turki juga dapat memperdalam kerja sama dengan Rusia meski berstatus anggota aktif NATO .

Selin Nasi menegaskan, Barat sebenarnya mendapat manfaat dari kedekatan antara Turki dengan Rusia. "Anda juga harus berkomunikasi dengan pihak yang tidak Anda sukai. Untuk itu Anda memerlukan perantara. Perjanjian ekspor gandum, yang juga penting bagi Eropa, terjadi berkat mediasi Turki," kata Nasi.

Peran sentral Erdogan

Namun, jenis komunikasi memainkan peran penting dalam persepsi terhadap Turki sebagai sekutu Barat. "Perdebatan mengenai bergabungnya Swedia dan Finlandia ke NATO sangat problematis bagi Turki,” tukas Nasi. "Pada akhirnya, tercipta kesan seolah-olah Turki adalah negara yang menganggap setiap isu luar negeri sebagai bahan negosiasi.”

Nasi melihat bahwa "pemerintahan yang tidak dapat diprediksi" di Turki akan semakin menyulitkan kolaborasi di tubuh NATO. "Pengambilan keputusan kebijakan luar negeri kini telah bergantung pada Presiden Recep Tayyip Erdogan. Pada titik di mana kita berada sekarang, Erdogan  yang memutuskan segalanya,” ujarnya.

Perceraian bukan opsi

Polemik Turki turut memicu narasi pemecatan dari NATO yang menyebar di Eropa dan AS. Bahkan di Turki sendiri, keanggotaan NATO tidak lagi dipandang sebagai sebuah keharusan.

Erdogan beberapa kali mengisyaratkan keinginan bergabung dengan Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), yang dipimpin Cina dan Rusia. Menurut para ahli, salah satu tujuan pembentukan SCO adalah untuk membendung pengaruh NATO.

Ilmuwan politik London, Nasi, tidak sependapat. "Tidak ada kepentingan bagi kedua belah pihak jika Turki meninggalkan NATO. Karena dalam praktiknya, Turki sama sekali tidak menjauhkan diri dari NATO, melainkan telah memenuhi semua tugasnya sebagai sekutu,” kata dia.

Terlebih, "semua sistem pertahanan Turki secara eksklusif kompatibel dengan NATO. Semua sistem persenjataan dan pesawat tempur Turki sepenuhnya sudah terintegrasi ke dalam NATO. Anda tidak bisa dengan mudah mengganti seluruh sistem pertahanan," pungkasnya.

rzn/as

Burak Ünveren,
Burak Ünveren Editor multimedia dengan fokus pada kebijakan luar negeri Turki dan hubungan Jerman-Turki.