Kenapa Laut Cina Selatan Terus Bergejolak selama Tahun 2023?
27 Desember 2023Pada 10 Desember lalu, sebuah armada yang terdiri dari 40 kapal berangkat dari kota pesisir Filipina, El Nido, di Provinsi Palawan, menuju area perairan Laut Cina Selatan yang disebut Kepulauan Spratly, yang sebagian wilayahnya diklaim oleh beberapa negara di kawasan.
Lebih 200 sukarelawan dalam "konvoi Natal" ini ingin mengantarkan sumbangan hadiah dan pasokan logistik kepada para nelayan miskin yang tinggal dan bekerja di atas kapal di Kepulauan Spratly, serta kepada tentara yang mengawaki sebuah kapal dari era Perang Dunia II yang sengaja dikandaskan di sebuah beting yang menjadi pos teritorial Filipina.
Konvoi ini diorganisir sebuah koalisi yang disebut "Atin Ito" yang berarti "ini milik kita" dalam bahasa Tagalog. Selain membawa barang bantuan, penyelenggara mengatakan, mereka ingin menunjukkan eksistensi Filipina di Spratly.
Ketika konvoi perahu sedang melakukan penyeberangan, mereka menerima kabar pasukan penjaga pantai Cina menembakkan meriam air ke konvoi perahu lainnya, yang juga membawa barang bantuan, yang menyebabkan kerusakan serius pada salah satu mesin kapal. Setelah "dibayangi" oleh kapal penjaga pantai Cina, para penyelenggara memutar balik armada dan kembali ke El Nido.
"Gelombang" di Laut Cina Selatan pada tahun 2023
Insiden ini merupakan kejadian terbaru dari kebuntuan diplomasi yang terus bereskalasi selama tahun ini, antara Filipina dan Cina atas pulau-pulau kecil dan beting yang disengketakan di Laut Cina Selatan, sebuah jalur perairan yang kaya akan sumber daya alam yang diklaim Cina hampir seluruhnya.
Selama berbulan-bulan, sejumlah kapal penjaga pantai Cina yang berukuran jauh lebih besar dan lebih modern secara rutin menghadang kapal penjaga pantai, angkatan laut, dan kapal-kapal nelayan Filipina, terkadang mereka sengaja membenturkan kapalnya. Dalam satu kasus di awal tahun ini, penjaga pantai Cina menggunakan "laser militer" untuk membuat para awak kapal Filipina kehilangan orientasi.
Pasukan penjaga pantai Cina berpatroli di perairan lepas pantai barat Filipina hingga 24 jam sehari dari pangkalan di pulau-pulau buatan, yang dibangun antara tahun 2014 dan 2017 dengan mengeruk pasir laut yang ditimbunkan atas terumbu karang dan bebatuan.
Salah satunya di Mischief Reef, Kepulauan Spratly, yang hanya berjarak 37 kilometer dari pos terdepan kapal karam di Second Thomas Shoal, yang disebut Ayungin Shoal oleh Filipina.
"Cina saat ini tanpa jeda mengerahkan puluhan kapal penjaga pantai dan ratusan perahu kelompok milisi di Kepulauan Spratly, 1.287 kilometer dari pantai Cina," kata Greg Poling, Direktur Proyek Inisiatif Transparansi Maritim Asia di Pusat Studi Strategis dan Internasional CSIS di Washington.
Di sebelah utara Spratly terdapat titik panas sengketa lainnya, yakni di Scarborough Shoal, sebuah laguna dangkal berwarna biru kehijauan yang dikelilingi oleh terumbu karang dan bebatuan yang terletak sekitar 222 kilometer di sebelah barat Pulau Luzon, Filipina. Kawasan ini kaya ikan dan jadi wilayah tangkapan nelayan Filipina, yang sekarang harus bermain kucing-kucingan dengan kapal pasukan penjaga pantai Cina.
Pulau-pulau imajiner dalam peta Cina
Menurut hukum internasional, tidak ada dasar hukum untuk klaim teritorial Beijing di bawah "sembilan garis putus-putus", yang terlihat pada peta yang menjorok ke dalam lidah berbentuk huruf U ratusan mil laut ke selatan dan melintasi Zona Ekonomi Eksklusif - ZEE Filipina, Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Brunei.
Pada tahun 2013, Filipina menentang klaim Cina di Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag. Pengadilan internasional tersebut memutuskan pada tahun 2016 bahwa klaim Cina atas "hak-hak dan sumber daya bersejarah" di dalam sembilan garis putus-putus itu "tidak memiliki dasar hukum."
Pengadilan juga memutuskan, tidak ada "fitur tanah" yang diklaim Cina di Kepulauan Spratly yang dapat dianggap mampu menjadi dasar klaim teritorial yang sah seperti ZEE.
Namun, Cina langsung menolak keputusan tersebut sebagai "batal demi hukum", dan sejak saat itu tidak mengindahkannya.
Sejarawan Laut Cina Selatan, Bill Hayton, menunjukkan bahwa dasar klaim dari sembilan garis putus-putus itu sebagian berasal dari peta tahun 1936 yang dibuat oleh ahli geografi Cina, Bai Meichu, yang menamai dan mengajukan klaim pulau-pulau yang sebenarnya tidak ada, sebagian didasarkan pada kesalahan penafsiran atas gosong pasir yang terendam secara permanen yang dipublikasikan di peta-peta laut Barat yang sudah ada.
Ini termasuk "James Shoal" di Kepulauan Spratly, yang hingga hari ini dikatakan Cina sebagai titik paling selatan negara itu, meskipun kedalamannya lebih dari 70 meter di bawah air, terletak 1.800 kilometer dari daratan Cina, dan hanya berjarak 80 kilometer di lepas pantai Malaysia.
"Ini bukan tentang ekonomi atau sumber daya, ini tentang nasionalisme. Kepemimpinan Cina sejak tahun 1990-an telah menciptakan dongeng historisnya sendiri tentang 'hak bersejarah' di perairan ini dan sekarang Cina tidak bisa melepaskannya meskipun hal itu telah merugikan dirinya sendiri," kata Poling dari CSIS.
"Cina berusaha untuk mengendalikan semua aktivitas di Laut Cina Selatan karena mereka telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa mereka memiliki hak tersebut, dan karena Xi Jinping menegaskan pentingnya masalah ini untuk legitimasi politik domestiknya," tambahnya.
Potensi konflik di perairan yang disengketakan
Klaim Beijing di Laut Cina Selatan dianggap sebagai ancaman nyata bagi keamanan dan stabilitas di jalur perairan yang memiliki nilai triliunan dolar dalam perdagangan global.
Angkatan Laut Amerika Serikat (AS), di antara angkatan laut Barat lainnya, secara rutin memimpin latihan "kebebasan navigasi" di Laut Cina Selatan sebagai pengingat akan hal ini.
Setelah Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr dilantik pada Juni 2022, Manila menghidupkan kembali kemitraan pertahanannya yang telah terjalin selama beberapa dekade dengan AS dan mengisyaratkan, negara itu mengesampingkan kepentingan Cina.
Namun, Beijing juga telah menunjukkan bahwa mereka bersedia mengambil risiko yang lebih besar, atau setidaknya terlihat seperti itu, untuk mendapatkan dukungan domestik dari kelompok garis keras.
"Ketegangan di sekitar Second Thomas Shoal dan pada tingkat yang lebih rendah di Scarborough, terus meningkat secara konstan selama setahun terakhir ini, karena Cina berusaha untuk memblokir setiap misi pengiriman logistik dari Filipina dan melakukannya dengan taktik yang lebih berbahaya, (seperti penggunaan) laser, meriam air, alat akustik, dan tabrakan langsung," ungkap pakar CSIS, Poling.
Pejabat keamanan Filipina khawatir bahwa langkah selanjutnya yang akan diambil Cina adalah mengambil alih Second Thomas Shoal dan membangun instalasi militer di sana seperti yang terjadi pada Mischief Reef di dekatnya, demikian yang dilaporkan Reuters.
"Pemerintah Filipina di bawah Presiden Marcos Jr. bertekad terus maju dalam menghadapi intimidasi Cina, dan AS telah menyatakan dengan jelas bahwa mereka akan membantu membela warga Filipina jika Cina menggunakan kekuatannya," kata Poling.
Dia menambahkan, janji dukungan AS, setidaknya di atas kertas, membantu "memberikan kepercayaan diri yang lebih besar kepada Filipina bahwa mereka dapat terus menjalankan blokade Cina ini tanpa kapal-kapal Cina melepaskan tembakan."
"Sejauh ini, perhitungan itu terbukti tepat, membuat Cina tidak memiliki pilihan yang lebih baik selain terus menjalankan permainan berbahaya yang sama berulang kali setiap bulan, memperburuk hubungannya dengan Filipina, dan merusak reputasi internasionalnya tanpa ada manfaatnya."
(ha/as)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!