Kemungkinan Infeksi Ulang Akibat Virus Mutasi?
21 Januari 2021Munculnya varian baru virus corona hasil mutasi, baik itu di Inggris, Afrika Selatan, maupun di Brazil memicu kekakhawatiran banyak kalangan. Varian B 1.1.7 mula-mula ditemukan di Inggris dan kemudian di Denmark. Virus corona mutasi Inggris menyebar 70% lebih cepat dibanding virus corona Wuhan. Virus mutasi itu, kini juga ditemukan di berbagai negara di Eropa, Amerika, maupun Asia.
Mutasi pada virus bukan hal aneh. Rata-rata muncul dua varian baru setiap bulan. Namun, pada varian mutasi virus corona yang ditemukan di Inggris, para peneliti melaporkan virusnya sudah mengalami 17 perubahan gen. Kasus ini membuat para pakar virologi terpana. Terutama tiga mutasi pada virus corona yang diamati sangat menarik perhatian, karena memungkinkan virus makin mudah memasuki sel manusia.
Para ahli juga mewanti-wanti, jangan menyalahkan negara yang melaporkan munculnya varian mutasi virus corona itu. Pasalnya, cukup lama para peneliti tidak melakukan analisa, varian virus corona mana yang memicu COVID-19 pada para pasien yang sakit. Baru belakangan sejumlah negara melakukan sequencing atau pengurutan secara intesif dan menemukan, varian mutasi mana yang sedang mewabah di negara bersangkutan. Inggris dan Afrika Selatan termasuk dua negara yang giat melakukan sequencing.
Penularan pada pasien sembuh dan penerima vaksinasi
Setelah menemukan mutasi virus corona di Inggris berupa varian B 1.1.7 dan mutasi di Afrika Selatan berupa varian B.1.351 yang mirip, kini muncul mutasi varian virus corona baru dari Brazil yang disebut P.1. Mutasi virus corona dari Brazil melakukan 17 kali mutasi yang juga mengubah "spike protein" yang bertugas menempel ke sel manusia.
Yang memicu kekhawatiran dari varian P.1 ini adalah kenyataan bahwa virusnya kemungkinan bisa menginfeksi ulang orang yang sudah sembuh dari COVID-19 varian sebelumnya. Varian mutasi virus corona itu mula-mula muncul di kota Manaus, ibu kota negara bagian Amazona di Brazil, di mana pada tahun lalu sekitar 75% penduduknya terinfeksi COVID-19. Teorinya, akan terbentuk "herd immunity" di kalangan warga, dan jumlah kasus akan turun. Tapi realitanya jumlah kasus baru infeksi corona malahan naik lagi dengan cepat.
Ini bisa disimpulkan, jawaban antibodi tubuh dari orang yang sudah sembuh dari infeksi SARS CoV-2 atau yang mendapat vaksinasi, tidak lagi ampuh, karena varian baru P.1 bisa menipu reaksi antibodi. Ini disebut "Immune-Escape-Mutation" pada spike-protein, yang membuat sejumlah antibodi tidak bisa lagi mengikat dan menetralkan virusnya. Sebagian virus lolos dari serangan antibodi. Dengan kata lain, tidak tertutup kemungkinan infeksi ulang COVID-19 pada orang yang sembuh atau mendapat vaksinasi.
Banyak mutasi lokal
Sekarang, setelah makin banyak dan makin intensif dilakukan sequencing kasus COVID-19, juga akan makin banyak ditemukan mutasi virus corona. Namun, ini tidak berarti mutasi virus makin ganas dan berbahaya.
Misalnya kasus pecahnya kasus infeksi corona di Rumah Sakit Garmisch-Partenkirchen, Jerman yang dipicu varian baru vrus corona yang mengalami mutasi. Penelusuran menemukan, mutasi virus corona di Jermanhanya terjadi parsial, dan ini mutasi lokal bukan varian Inggris atau Afrika Selatan. Kini sampelnya sedang dianalisis di rumah sakit Charité Berlin.
Sementara di kawasan Los Angeles muncul varian virus corona baru L452R, yang sudah dideteksi sejak bulan Maret 2020 muncul di Denmark.
Mutasi bahayakan keampuhan vaksin?
Berbagai varian mutasi virus corona yang muncul di berbagai lokasi itu, membuat para pakar kesehatan mencemaskan, vaksin corona bisa saja kehilangan keampuhannya.
Sejauh ini memang belum diteliti secara mendalam, bagaimana keampuhan vaksin corona terbaru yang dikembangkan dari mRNA dalam kasus mutasi virus. Posisi aktual menunjukkan, vaksin buatan BioNTech/Pfizer dan Moderna juga ampuh melawan varian virus mutasi B 1.1.7 dari Inggris. Vaksin mRNA itu tetap mampu menangkap "spike-protein" virus yang bersangkutan.
Namun, sejauh mana vaksin yang saat ini sudah ada masih ampuh menghadapi varian mutasi virus corona lainnya, harus ditunjukkan dengan riset lebih lanjut.
Jika virus corona suatu saat nanti mengalami mutasi ekstrem, hingga antibodi yang dipicu vaksin tidak mampu lagi menetralisirnya, maka vaksin harus disesuaikan lagi. BioNTech-Pfizer menyatakan, update semacam itu pada vaksin mRNA secara prinsip tidak terlalu sulit. Kode genetika virus yang terkandung dalam vaksin, dapat diganti relatif mudah dalam hitungan beberapa minggu.
Yang jadi masalah adalah uji coba dan regulasi perizinannya. Selain itu, produksi dan logistik serta pendistribusian vaksinbaru yang disesuaikan akan memakan waktu, seperti pengalaman saat ini. Padahal pusat vaksinasi di berbagai negara, sekarang ini sangat menantikan datangnya vaksin untuk mengerem pandemi secepatnya.
Alexander Freund (as/rap)