Keberagaman Gender di Sekitar Kita
16 Agustus 2021Akhir pekan terakhir di bulan April 2021 itu tidak sama dengan hari-hari lainnya. Selain cuaca sore itu yang cerah, tak tampak awan menggantung, suasana hari saya juga cerah. Saya bertemu dan berbicara dengan dua orang motor penggerak sebuah usaha jasa kebutuhan pernikahan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Seseorang bertubuh atletis dengan senyuman manis dan keramahan yang begitu terasa ketika menyambut kedatangan saya adalah Jeff, sang pemilik bridal. Sedangkan yang satunya lagi bertubuh ramping, menyembunyikan rambut panjangnya di balik topi yang dikenakannya tampak sedang serius memasang payet-payet di gaun pengantin pesanan calon pengantin, dia adalah Nano atau akrabnya, Nanda.
Tak lama kemudian kami pun duduk bersama di sebuah taman kecil di samping bridal yang memang menjadi tempat kesukaan mereka ketika menggambil waktu untuk beristirahat sejenak dari aktivitas. Ditemani tiga gelas teh hangat dan beberapa potong kue, kami bertiga pun memulai obrolan ringan namun penuh dengan makna. Jeff dan Nano bergantian menceritakan pengalaman hidup mereka dari sejak kecil hingga saat ini.
Jeff, gay tulang punggung keluarga
Jeff adalah anak kelima dari tujuh bersaudara, dari kecil dia mengakui kalau dia merasa berbeda dari teman-temannya, lebih sedikit feminin, paparnya memulai cerita. Namun, sepanjang ingatan Jeff, orang tua dan saudara-saudaranya tidak terlalu mempersoalkan sifatnya itu. Bagi Jeff mungkin saja orang-orang berpikir hal tersebut tidak masalah karena ia masih kecil kala itu. Semasa kecil ia membantu keluarga berkeliling menjajakan gula hela (sejenis dodol –red) yang dibuat ibunya.
Setelah menyelesaikan SMP, Jeff melanjutkan pendidikan menengah dengan bersekolah perawatan gigi di Liliba. Di sekolahnya, Jeff dikenal sebagai siswa yang sangat cerdas dengan prestasi yang gemilang. Tak heran jika setelah selesai pendidikan menengahnya ia mencoba ikut tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan lolos! "Saat itu orangtua dan saudara-saudara saya sangat bangga dengan keberhasilan saya,” ujarnya sambil menyeruput teh hangat yang sedari tadi dipegangnya.
Sampai suatu waktu sepupunya memperkenalkannya pada seorang pria gay asal Australia dengan alasan karena Jeff fasih berbahasa Inggris dan pria ini sedang membutuhkan tour guide selama berada di Kupang. "Saya tidak menyangka jika perkenalan itu adalah awal saya menemukan pasangan hidup saya yang setia menemani saya hingga saat ini,” kenangnya dengan raut wajah bahagia.
Namun hubungan asmara Jeff ini tidak semulus apa yang dibayangkan, penolakan tetap ada bahkan datang dari lingkungan terdekatnya yaitu kakak laki-laki sulungnya. Suatu ketika secara tidak sengaja Jeff mendengar percakapan sengit antara kakaknya dan orang tuanya. "Supaya Bapa deng Mama tau eee, Jeff su bikin malu kitong satu keluarga. Dia ada pacaran dengan itu laki-laki bule tuh, semua orang ada baomong aaa,” ujar Jeff menirukan ucapan kakak laki-lakinya dengan dialek Kupang yang kental waktu itu.
Mendengar pertengkaran ini membuat Jeff lantas memilih untuk membuat suatu keputusan besar dalam hidupnya. Sekalipun meninggalkan orang tua dan keluarganya adalah keputusan sulit dan berat baginya, tapi Jeff juga menyadari bahwa ia harus hidup bahagia. Jeff harus bahagia sebagai seorang gay dengan pasangan yang dipilihnya. Jeff meninggalkan rumah.
Akhir 2003, Jeff akhirnya bisa masuk ke Australia setelah hidup merantau di Bali sejak tahun 2000 dan meninggalkan pekerjaan sebagai PNS di Kupang.
Selama di Australia, Jeff tak putus-putusnya bekerja apa saja. Mulai dari menjadi kasir di supermarket, hingga menjadi karyawan pom bensin dan pelayan di pub malam ia lakukan. Ia bekerja mati-matian, mengumpulkan uang untuk dapat membangun bisnis di Kupang kelak. "Sebab bagaimanapun juga keluarga saya pasti membutuhkan saya,” kenangnya.
Impiannya itu pun perlahan-lahan terwujud. Dengan hasil kerja kerasnya ia mampu merenovasi rumah orangtuanya, membangun kos-kosan di salah satu kawasan kelas satu di wilayah kota Kupang dan mendirikan usaha jasa layanan pernikahan serta membantu menyekolahkan keponakan-keponakannya. Ia tahu lingkungan masih sulit menerima kelompok LGBT. Ia berjuang untuk menunjukkan bahwa LGBT itu bukanlah suatu kekurangan, LGBT itu sama seperti orang-orang pada umumnya, mereka hanya memiliki orientasi seksual dan pilihan ekspresi gender yang berbeda, namun tetap bisa produktif dan memiliki kepedulian terhadap sesama.
Perjuangan Jeff membuahkan hasil, perlahan-lahan keluarganya dapat mengubah sudut pandang mereka terhadap kelompok LGBT. Bahkan keluarganya sangat menghargai teman-teman LGBT Jeff yang bekerja di bridalnya atau yang hanya sekedar datang mengunjunginya.
Nanda, transpuan dan ayah dari dua anak
Berbeda dengan ceritanya Jeff, apa yang dialami Nano atau yang sering disapa Nanda ini mungkin akan terbilang unik. Meskipun dari kecil ia merasa seperti anak laki-laki pada umumnya namun ketika masuk masa akil balig ia merasa ada sesuatu yang berbeda. "Saya kok bisa tertarik sama pria dan juga perempuan?” ujar pria yang hobinya menjahit, memasak dan membersihkan rumah ini sambil tertawa mengenang itu.
Ia terus berusaha untuk menekan perasaan sukanya terhadap laki-laki. Tapi semakin ditekan perasaan itu semakin kuat hingga suatu ketika ia bertemu dan berteman dengan seorang transpuan yang mengajaknya untuk ikut lomba dance Asarèje dan mereka berhasil menjadi juara satu. Dari situ ia mulai dekat dengan teman-teman transpuan, nalurinya mulai menggebu-gebu saat itu untuk mulai mencoba berdandan. Pada suatu ketika ia dipergoki ayahnya ketika sedang berdandan hendak ke pesta. Reaksi tak terduga didapatkan dari ayahnya yang humoris.
"Eeehhh kasihan.. ternyata Bapak punya anak nona ada tiga orang, dan lu yang paling cantik eee.” ceritanya mengulang candaan ayahnya ketika memergoki ia sedang berdandan. Nanda sangat malu kepergok saat itu namun ia tetap pergi ke pesta dengan penampilan barunya. Sejak saat itulah keluarganya mengetahui situasi Nanda yang suka berdandan dan berperilaku feminin.
Di samping hobinya yang suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga ternyata Nanda juga lihai dalam hal memandu barisan marching band. Dia cukup dikenal sebagai salah satu mayoret yang lincah dengan performa yang sangat menghibur ketika karnaval di kota Kupang. Inilah yang akhirnya membuat seorang perempuan jatuh hati padanya. Perempuan ini lantas mulai mendekati Nanda, memberikan perhatian dan menunjukan rasa cintanya. "Kami dekat kemudian berpacaran, dan dia bisa menerima saya apa adanya. Bahkan dia menunjukan foto-foto saya ketika berdandan ke orang tuanya. Dengan penjelasannya yang baik orang tuanya dapat menerima saya.” jelasnya. "Lalu dia mengandung anak pertama kami, dan kami menikah secara adat. Beberapa tahun berselang kami memiliki anak kedua,” ujarnya sembari menunjukkan foto kedua anaknya dalam galeri handphonenya.
Walaupun ia sudah memiliki istri dan anak namun rasa sukanya terhadap laki-laki masih sangatlah besar. Sampai suatu ketika ia terbuka ke istrinya bahwa ia menyukai baik perempuan maupun pria. Hal ini dilakukannya karena ia tak bisa lagi membendung rasa cintanya yang ternyata lebih kuat kepada laki-laki. Namun hal ini justru membuat istrinya akhirnya memilih untuk berpisah dengannya secara baik-baik. Setelah berpisah dengan istrinya Nanda masih berdandan layaknya perempuan ketika hendak ke pesta-pesta, menjalani kehidupan dengan pilihan ekspresi gender dan orientasi seksualnya. "Tapi saya tetap menjalankan peran saya sebagai seorang ayah secara bertanggung jawab dengan terus menafkahi anak-anak saya. Bahkan anak pertama saya sekarang sudah di bangku SMA dan yang bungsu masih SD,” jelasnya. Dia bercerita jika anak-anaknya tahu dirinya berdandan selayaknya perempuan di waktu-waktu tertentu.
Hidup itu penuh warna, hargailah!
Sungguh menarik obrolan saya dengan dua orang ini sampai tidak terasa matahari mulai menghilang di ufuk barat. Dari dua orang ini akhirnya saya tahu artinya keberagaman orientasi seksual dan ekspresi gender yang ada di sekeliling kita.
Sepatutnya kita tidak perlu menghakimi orang lain dengan menggunakan kaca mata yang kita kenakan karena mereka sejatinya punya hak mutlak untuk menentukan pilihan orientasi dan ekspresi gendernya dan kita semua pun sama sedang terus berjuang untuk diri kita dan orang-orang yang kita cintai.
Apa yang ditempuh Jeff dan Nano untuk menjadi pribadi yang berdaya guna perlahan dapat diterima oleh keluarga dan orang-orang di sekitar mereka. Selain itu, mereka ikut menguatkan kalangan LGBTIQ lainnya untuk berjuang dengan cara yang lebih produktif.
Semoga semakin banyak orang yang bisa menghargai perbedaan. Perbedaan bukanlah suatu sekat pemisah, justru dapat menjadi warna yang menghiasi kehidupan kita. Maka, harapannya masyarakat, tidak perlu lagi menghakimi orang lain dengan menggunakan kacamata yang dikenakannya sendiri, karena warga LGBTIQ sejatinya punya hak mutlak untuk menentukan pilihan orientasi dan ekspresi gendernya. Setiap warga negara sama-sama berjuang untuk diri dan orang-orang yang kita cintai.
Di peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 ini semoga menjadi refleksi bangsa untuk menghormati perbedaan gender dan seksualitas yang ada di tengah masyarakat.
***
Penulis: Jocky Adoe penerima beasiswa liputan dalam rangkaian kegiatan Workshop & Story Grant: Anak Muda Ramah Gender & Seksualitas yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.
*Ingin ikut berdiskusi? Silakan tuliskan komentar Anda di bawah ini. (ha/hp)