Perempuan Manipur, India, Desak Diakhirinya Kekerasan Etnis
12 Juli 2023Para perempuan di Manipur, India, mengorganisasi aksi protes di tengah konflik etnis yang berkecamuk antara mayoritas komunitas Meitei dan suku Kuki, yang telah merenggut lebih dari 130 nyawa sejak Mei lalu.
Bentrokan di negara bagian India timur laut tersebut semakin mematikan setelah komunitas Meitei, yang menyumbang lebih dari 50% dari 3,5 juta penduduk negara bagian itu, menuntut agar mereka diakui sebagai "suku resmi". Di bawah konstitusi India, status ini membuka manfaat ekonomi baru, kekuatan politik, dan kuota dalam pekerjaan dan pendidikan pemerintah.
Langkah tersebut membuat marah anggota suku Kuki dan Naga, yang didominasi Kristen, yang berpendapat bahwa Meitei sudah menjadi komunitas dominan di Manipur. Baik Kuki dan Naga saat ini menikmati status "suku resmi".
Ratusan rumah keluarga, toko, gereja, dan bangunan lainnya dibakar massa, menyebabkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Pemerintah telah mengerahkan ribuan angkatan bersenjata tambahan, tetapi sejauh ini belum mampu menciptakan ketenangan di Manipur.
Para perempuan kemudian melakukan demonstrasi, menggagalkan operasi pencarian oleh tentara, dan juga memblokir jalan-jalan utama dengan truk yang membawa pasokan penting ke negara bagian.
Tentara: Aktivis perempuan mengganggu upaya damai
"Misalnya, bulan lalu, perempuan dari komunitas Meitei mengadakan pawai obor dan membentuk rantai manusia di jalan-jalan (ibu kota negara bagian) Imphal dan distrik perbukitan," kata mahasiswa bernama Elam Indra kepada DW. Dia mengapresiasi "keberanian luar biasa" para pengunjuk rasa.
Namun, sejumlah orang lainnya mengklaim protes semacam itu membantu para perusuh. Pasukan keamanan negara bagian dan federal mengeluhkan perlawanan kelompok perempuan yang dinilai telah menghambat pergerakan dan pencarian mereka di seluruh Manipur.
Masuk ke 'tengah pertempuran'
Lourembam Nganbi adalah aktivis berpengalaman dan anggota kelompok perempuan All-Manipur Kanba Ima Lup. Berbicara kepada DW, dia menolak klaim tentara bahwa para perempuan telah melecehkan pasukan paramiliter dan membantu mengamankan jalan bagi pemberontak bersenjata.
"Siapa pun bisa mengatakan apa pun tentang kami. Mereka dapat mencoba memanggil nama kami atau menggambarkan kami dengan cara apa pun yang mereka inginkan. Satu-satunya kebenaran adalah kami adalah perempuan dan ibu yang tidak akan berpikir dua kali untuk masuk ke tengah pertempuran," kata Nganbi.
"Kami pikir pasukan paramiliter akan turun tangan untuk warga sipil ketika kekerasan pecah. Sebaliknya, ada kasus di mana rumah dibakar setelah mereka masuk ke daerah Meitei," kata Nganbi.
Lebih dari satu abad perlawanan perempuan
Dorongan untuk perdamaian saat ini hanyalah yang terbaru dalam sejarah panjang perempuan Manipur yang memperjuangkan tujuan politik.
Di masa lalu, kelompok yang dikenal sebagai Meira Paibis (Perempuan Pembawa Obor) atau Imas (Ibu dari Manipur) melakukan protes tanpa kekerasan terhadap minuman keras ilegal, penggunaan obat-obatan, dan terutama terhadap undang-undang yang memberikan kekuasaan khusus kepada pasukan dan paramiliter di "daerah yang terganggu."
Perempuan Manipur juga telah berpartisipasi dalam dua gerakan massa besar, disebut "Nupi Lan" atau perang perempuan, yang melawan penguasa Inggris pada awal 1900-an.
Tradisi ini telah menjadi kekuatan pendorong mobilisasi politik di Manipur modern.
"India timur laut memiliki sejarah yang kaya akan gerakan perlawanan perempuan yang memainkan peran penting dalam memperjuangkan hak-hak komunitas mereka," kata Chitra Ahanthem, jurnalis independen dari Manipur, kepada DW.
"Gerakan ini lahir dari kebutuhan untuk mengatasi masalah kekerasan, konflik, dan pelanggaran hak asasi manusia yang telah melanda kawasan ini selama beberapa dekade," tambahnya.
Kedamaian belum kembali ke Manipur dan hampir dua bulan bentrokan etnis yang semakin keras telah membuat negara tersebut berada di ujung tanduk. Aktivis perempuan mengatakan mereka akan terus turun tangan untuk mengekang kekerasan.
"Kami akan terus menjaga dan melindungi rakyat kami tidak dengan menggunakan senjata atau memfitnah orang lain, tetapi dengan campur tangan sebagai ibu," kata aktivis Lourembam Nganbi kepada DW.
(ha/hp)