Kasus Snowden: Eropa di Bawah Tekanan
5 Juli 2013Edward Snowden terus mencari negara yang mau memberikan suaka. Ia sudah mengajukan 21 lamaran. Beberapa negara belum menjawab. Isyarat positif diberikan Venezuela, sedangkan mayoritas menolak. Biasanya karena alasan formal.
Jerman juga sudah menolak Snowden, yang ditunggu hukuman berat di negara asalnya. Beberapa politisi oposisi marah dan menuduh pemerintah Jerman munafik. Tetapi Jerman bukan satu-satunya negara yang enggan berseteru dengan AS. Perancis dan Portugal melarang pesawat yang ditumpangi Presiden Bolivia Evo Morales untuk melewati wilayah udaranya. Karena diduga Snowden juga berada di pesawat, yang mengangkut Morales kembali dari Rusia ke Bolivia.
Terburu-Buru Patuh?
Susah dibilang, apakah AS melancarkan tekanan langsung terhadap negara-negara Eropa. Pakar politik Christian Lammert dari universitas di Berlin berpendapat, itu bisa juga langkah Eropa yang terburu-buru patuh. Bisa saja, kerjasama di bidang politik keamanan antar dinas rahasia berjalan baik, dan lewat informasi dari dinas rahasia AS, sejumlah serangan teroris berhasil digagalkan. Jadi Jerman dan negara-negara Eropa lain menarik keuntungan dari pengawasan yang dilakukan NSA.
Lagi pula perundingan tentang zona perdagangan bebas trans atlantis antara Uni Eropa (UE) dan AS akan segera diadakan. Jika cukai tidak ada lagi, UE bisa menghemat milyaran. Selain itu, kedua mitra berharap akan adanya perkembangan ekonomi dan lebih banyaknya lapangan kerja. Jadi semua pihak berusaha untuk tidak mengganggu iklim politik, demikian dikatakan Lammert dalam wawancara dengan DW.
Dalam hal Jerman, tidak jelas sejauh apa pengungkapan tentang pengawasan oleh dinas rahasia AS di Jerman mengejutkan bagi politisi Jerman. Bagi Lammert, seruan beberapa politisi agar Snowden diterima di Jerman hanya bagian dari kampanye pemilu. Pemilu berikuntya di Jerman akan diadakan September mendatang.
"AS Tetap Berkuasa"
Bahwa AS bisa menanamkan pengaruh, sudah menjadi bagian gambaran diri AS, demikian pendapat pakar sejarah Detlef Junker. Penyebabnya adalah kekuatan militer AS. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, negara itu menjadi kuasa militer. Di samping itu, AS juga menjadi kekuatan militer yang merasa punya misi untuk mencegah agar perannya sebagai pemimpin global tidak terancam. Pelaksanaan kekuatan militer, walaupun tidak berhubungan dengan Eropa, tentu jadi alat bagi politik luar negerinya, demikian Junker.
Sekarang pertanyaannya, apakah karena masalah dalam negerinya AS masih dapat mempertahankan hegemoninya dan mengalahkan saingan yang semakin kuat di Asia? Junker berpendapat, ada beberapa alasan yang membuat AS tetap berkuasa, yaitu: posisi unggul dalam bidang teknologi informasi, upaya untuk menggali kekayaan minyak dan gas di negara sendiri sehingga tidak tergantung pada misalnya Arab Saudi, dan nilai mata uang Dolar yang tetap kuat. "Itu indikasi yang membuat AS dapat tetap menjaga posisinya," kata Junker.