Kasus JIS Picu Debat soal Keselamatan Anak
29 April 2014Kasus pelecehan seksual atas anak laki-laki berumur enam tahun oleh para petugas kebersihan di Jakarta International School (JIS), sebuah sekolah favorit bagi warga asing dan orang kaya di ibukota, memicu kemarahan masyarakat.
Anak kedua juga telah menjadi korban, dan mengaku bahwa dirinya diserang di kelas – yang kini telah diperintahkan oleh pemerintah untuk ditutup – dan sekolah itu juga telah terungkap pernah mempekerjakan seorang guru Amerika yang dicurigai sebagai predator anak-anak.
Polisi telah menahan enam petugas kebersihan yang berasal dari perusahaan luar terkait kasus ini, salah satunya bunuh diri di tahanan, dan sekolah internasional itu telah berjanji akan bekerjasama dengan polisi untuk penyelidikan.
Di luar kemarahan masyarakat atas tuduhan pelecehan di sekolah elit, skandal ini telah memusatkan perhatian masyarakat atas isu yang selama ini hanya sedikit didiskusikan di Indonesia – tingginya insiden serangan seks atas anak-anak, khususnya di sekolah-sekolah.
Komisi Perlindungan Anak Nasional mengatakan bahwa mereka telah menerima sekitar 3.000 laporan kasus serangan seksual atas anak di bawah umur pada tahun 2013, angka itu naik dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya, dengan 30 persen kasus terjadi di lembaga-lembaga pendidikan.
Anggota komisi tersebut Seto Mulyadi mengatakan angka itu hanyalah “puncak gunung es".
“Banyak kasus yang tidak dilaporkan karena keluarga korban merasa malu,“ tambah dia.
Media nasional kini menelusuri para korban lain menyusul kasus yang terjadi di JIS, dengan para pengamat menuntut perlunya langkah lebih jauh untuk menjamin keselamatan anak-anak.
Harian The Jakarta Post mengatakan dalam editorialnya bahwa kontroversi ini telah mengangkat pertanyaan tentang ”seberapa aman anak-anak kita”, termasuk mereka yang berada di sekolah bereputasi.
“Para penegak hukum, pendidik dan orang tua kelihatannya masih harus melakukan banyak hal untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan anak-anak kita.”
Hukuman yang lebih berat
Media juga secara intensif mengungkapkan kisah-kisah penyerangan seksual lain setelah terkuaknya skandal tersebut, termasuk satu kasus di mana seorang anak perempuan berumur enam tahun diduga telah dilecehkan oleh seorang polisi di provinsi Aceh.
Ibu anak itu sebelumnya mengatakan dia merasa “malu“ untuk melaporkan hal itu, tapi ketika muncul tuduhan bahwa polisi yang sama melakukan pelecehan terhadap anak perempuan lainnya, dia memutuskan untuk melaporkan kasus ini. Tersangka polisi itu kini telah ditahan.
Namun bahkan ketika para penyerang sudah ditangkap, para pembela keselamatan anak mengatakan hukuman bagi para pelaku terlalu singkat untuk menciptakan efek jera bagi para pedofil.
Hukuman maksimal bagi pelaku penyerangan seks atas anak di Indonesia adalah 15 tahun penjara dan denda maksimal sekitar Rp 300 juta – tapi sebagian bersar pelaku biasanya hanya menerima hukuman tiga hingga lima tahun penjara.
Namun debat yang dipicu kasus yang terjadi di Jakarta telah mendorong munculnya seruan hukuman yang lebih berat dan para politisi mulai mendiskusikan peningkatan masa tahanan bagi para pedofil.
“Hukuman seharusnya dinaikkan minimal menjadi 20 tahun penjara dan maksimal adalah hukuman penjara seumur hidup,“ kata Menteri Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar.
Pejabat senior kementerian pendidikan Lydia Freyani Hawadi menambahkan, kasus ini adalah ”kesempatan emas” untuk meningkatkan pemeriksaan mengenai latar belakang orang-orang yang mendaftar untuk menjadi guru di sekolah-sekolah.
Pekan lalu terungkap bahwa William James Vahey, seorang warga Amerika berumur 64 tahun yang digambarkan FBI sebagai “tersangka predator anak-anak“, pernah mengajar di JIS selama satu dekade hingga 2002.
Namun belum ada tuduhan bahwa Vahey, yang melakukan bunuh diri bulan lalu dan di flashdisk-nya ditemukan banyak gambar anak laki-laki, pernah melakukan pelecehan di sekolah internasional Jakarta itu.
ab/hp (afp,ap,rtr)