1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apa Yang Jadi Kendala Bikin Hujan Buatan?

23 September 2019

Hujan buatan menjadi salah satu opsi mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera dan Kalimantan. Namun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menyampaikan adanya kendala dalam menciptakan hujan buatan.

https://p.dw.com/p/3Q4xT
Bildergalerie: Waldbrände in Indonesien
Foto: picture-alliance/AP/F. Chaniago

"Karena penguapan air itu tertahan oleh asap supaya menjadi awan," ujar Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSDA) BPPT Yudi Anantasena dalam diskusi 'Tanggap Bencana Karhutla' di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2019).

Yudi mengatakan musim kemarau turut berpengaruh dalam pertumbuhan awan untuk membuat hujan buatan tersebut. Dua hal itu yaitu musim kemarau dan kabut asap disebut Yudi saling memengaruhi menghambat terjadinya hujan buatan.

Sebab, menurut Yudi, kondisi awan untuk membikin hujan buatan harus memiliki kadar air yang cukup. Menurutnya teknologi itu sangat tergantung pada intensitas awan.

"Teknologi modifikasi cuaca itu akan berhasil jika ada potensi awan. Jadi kita punya teknologi masih berbasis hukum alam, tidak juga membuat hujan dari hal-hal di luar itu," paparnya.

Untuk itu dalam beberapa waktu terakhir BPPT disebut Yudi berupaya mengurai pekatnya kabut asap lebih dulu. Baru setelahnya BPPT mengupayakan modifikasi cuaca demi terciptanya hujan buatan.

"Sejak beberapa waktu yang lalu kita melakukan berbagai modifikasi cuaca itu tidak hanya menebar NaCL (garam), tetapi juga menebar CaO atau kapur tohor," kata Yudi.

"Kita ingin buyarkan asap itu terlebih dahulu biar ada reaksi kimianya, gasnya ke atas kemudian residunya bisa turun ke bawah sehingga sinar matahari bisa tembus. Sinar matahari bisa tembus membuat penguapan air itu lancar, sehingga potensi awan bisalah," imbuh Yudi.

Sementara itu berkaitan dengan musim hujan, Yudi memperkirakan akan terjadi di Sumatera dan Kalimantan pada bulan Oktober. Yudi menyebut pula pada minggu ini di Pekanbaru diperkirakan akan turun hujan.

"Di Riau sempat ada hujan di utara, saat ini masih kemarau. Musim hujan di Sumatera di Kalimantan akan terjadi di bulan Oktober, kalau di Jawa memang lebih mundur lagi. Pekanbaru menurut ramalannya minggu ini ada potensi hujan, mudah-mudahan," kata Yudi.

BNPB: Gambut sulitkan pemadaman 

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, menjelaskan sulitnya penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menurut Doni, sebagian besar lahan yang terbakar ada di kawasan gambut dan sulit dipadamkan.

"Pertanyaannya kenapa sedemikian sulit mengatasi kebakaran hutan dan lahan? Sebagaimana yang tadi saya sampaikan bahwa gambut yang terbakar mendekati angka 90 ribu hektare per 31 Agustus yang lalu. Dari data yang saya kumpulkan penjelasan dari Bapak Nasir Fuad Kepala Badan Restorasi Gambut," kata Doni, saat jumpa pers, di Gedung Graha BNPB, Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Senin (23/9/2019).

Menurut Doni, gambut adalah fosil batu bara muda yang berusia ribuan tahun. Dia menyebut gambut mudah terbakar.

"Gambut ini adalah fosil batu bara muda yang sebagian besar fosil ini terdiri dari kayu-kayu yang sudah berusia ribuan tahun. Beliau juga mengatakan bahwa pada masa perang dunia kedua, Hitller pernah menggunakan bahan bakar untuk industri militer Jerman berasal dari gambut," ujar Doni.

"Oleh karenanya dapat kita simpulkan bahwa gambut ini adalah bahan bakar yang mudah terbakar ketika kondisinya mengalami kekeringan. Sebagaimana yang kita saksikan berbagai pemberitaan bahwa sebagian besar kawasan-kawasan gambut ini mengalami kekurangan air karena kemarau sangat panjang, beberapa daerah telah lebih dari 60 hari tanpa hujan," sambungnya.

Kemarau yang panjang membuat permukaan air di gambut mengalami kekeringan. Padahal, kata Doni, habitat gambut adalah daerah berair hingga rawa.

"Sehingga mengakibatkan permukaan air di banyak tempat di wilayah gambut mengalami kekeringan, padahal kita semua tahu bahwa gambut ini habitatnya atau kodratnya adalah basah, berair, bahkan rawa," ucap Doni.

Di beberapa daerah, kata Doni, kedalaman gambut bisa mencapai 30 meter. Dengan hal itu, Doni mengatakan perlu dilakukan upaya mengembalikan fungsi konservasi di lahan gambut.

"Oleh karenanya perlu dilakukan berbagai macam upaya untuk mengembalikan fungsi konservasi di wilayah gambut ini dan kita termasuk negara dengan luas gambut besar dan terluas di dunia, di samping itu di beberapa daerah memiliki gambut kedalamannya bukan hanya 5 sampai 10 meter, tetapi lebih 30 meter," sebutnya.

Pemahaman tentang gambut menurut Doni saat ini sangat penting. Doni mengatakan pembakaran lahan gambut meningkatkan risiko yang tinggi.

"Informasi ini sangat penting bagi kita semua agar kita bisa memahami melakukan pembakaran di lahan gambut adalah sama saja dengan membakar tingkat risiko yang paling besar," imbuh Doni. (vlz/as)

Baca artikel selengkapnya di DetikNews:

BPPT Beberkan Kendala Bikin Hujan Buatan: Tertahan Kabut Asap

Kepala BNPB Jelaskan Kesulitan Padamkan Api di Lahan Gambut