Kanon Sastra Kebangsaan
16 Agustus 2015Saya pernah mengusulkan tentang Kanon Sastra Kebangsaan. Sampai sekarang saya tidak berubah pendapat. Teman-teman sastrawan pasti banyak yang nyinyir tentang ini. Kanon sastra saja sudah bermasalah. Apalagi yang mendasarkan ukurannya pada kebangsaan. Problematis! Tapi apa sih yang tidak problematis dan tidak bisa diselewengkan di dunia ini?
Saya cenderung praktis. Marilah kita pisahkan wilayah antara “sastra murni”, yaitu yang penciptaannya mengabdi pada pencarian estetik. Serta “sastra terapan”. Kanon Sastra ada di wilayah kedua. Sastra sebagai wahana pendidikan.
Selagi menunggu Kurikulum 2013 yang tak kunjung jelas, saya terus dapat pertanyaan dari guru bahasa dan sastra Indonesia. Pendeknya, banyak yang tidak punya patokan dan keyakinan tentang karya apa yang harus diajarkan. Pertanyaan sederhananya: yang mana sih yang bagus? Yang katanya sastrawi itu kok susah ya? Murid-murid tidak suka; mereka lebih milih novel pop dan terjemahan. Murid juga sukanya menulis dengan cara pop. Gimana ya?
Memperkenalkan novel sebagai karya sastra rupanya justru menyulitkan. Lucu ya? Memperkenalkan sastra sebagai dirinya sendiri―yaitu usaha artistik bahasa―malah tidak jitu. Jadi dibalik saja. Sastra digunakan untuk memperkenalkan hal lain; dalam hal ini pemikiran kebangsaan. Dari titik itu kita mulai mengajak murid melihat mengapa pemikiran dan keindahan bisa berkelindan dalam sastra.
Di sinilah Kanon Sastra Kebangsaan justru menjadi pendekatan praktis. Tidak ada klaim bahwa ini adalah daftar terbaik sastra Indonesia, sekalipun tetap merupakan daftar sastra yang bermutu. Kanon Sastra Kebangsaan adalah rangkaian karya yang bicara mengenai tema kebangsaan dan kemanusiaan dalam sejarah Indonesia.
Kita punya banyak sekali! Itu menunjukkan bahwa sastrawan Indonesia pada umumnya terlibat dalam pemikiran kemasyarakatan. Sebutlah di antara yang paling subur berkarya: Sutan Takdir Alisjahbana, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam, Mangunwijaya. Kita juga bisa memperluas materi. Memoar tokoh yang ditulis dengan mutu sastra bisa digabungkan. Dalam sepuluh tahun ini ada tiga yang pantas dicatat: dari mantan menteri pendidikan dan kebudayaan Daoed Joesoef, intelektual Islam yang pernah memimpin Muhammadiyah Syafii Maarif, dan peneliti berintegritas Mochtar Pabottingi.
Emak (Daoed Joesoef) dan Burung-Burung Cakrawala (Mochtar Pabottingi) seharusnya memenuhi selera masa kini tentang kisah sukses anak kampung yang akhirnya pergi ke luar negeri (trend yang dalam novel diwakili Laskar Pelangi maupun Negeri 5 Menara). Malahan memoar ini adalah kisah nyata; bukan sekadar diinspirasikan pengalaman hidup. Bayangkan cerita tentang seorang anak yang kakeknya dibunuh Belanda dalam perang Aceh, besar di kampung dekat hutan Sumatra, menjadi orang Indonesia pertama yang lulus dari Sorborne, dan akhirnya jadi menteri! Atau, bocah dari kota kecil di Sulawesi yang menyadari keindonesiaan dari buku pelajaran Bahasaku! Ketiga memoar bercerita tentang kesadaran menjadi Indonesia, jalan menjadi pluralis, dan ditulis dengan mutu bahasa yang sama sekali tidak kalah dari kebanyakan novel sastra mutakhir. Titik-Titik Kisar Perjalananku (Syafii Maarif), Emak, Burung-Burung Cakrawala adalah dokumentasi sastrawi tentang menjadi Indonesia yang sangat berharga untuk dipelajari.
Tokoh dan karya yang saya sebut tadi, juga nama-nama lain, akan membantu murid memahami pembentukan kebangsaan dan pemikiran humanisme, mengimbangi pengajaran sejarah yang cenderung doktriner. Pengajaran sejarah menjebak murid untuk melihat sejarah sebagai sejarah linear perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah yang berklimaks pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Akibatnya, yang ditonjolkan adalah nasionalisme sempit, permusuhan, dan perlawanan bersenjata. Sebaliknya, para sastrawan dan intelektual telah menawarkan penulisan yang lebih berwarna, cerdas, dan terbuka untuk memahami apa artinya menjadi Bangsa Indonesia. Mengapa kita tidak menggunakannya secara lebih sistematis?