1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Myanmar: Perlawanan Terhadap Junta Militer Masuki Babak Baru

23 April 2024

Digempur pemberontak, rezim militer Myanmar setengah mati bertahan, namun masih berusaha keras meningkatkan kekuatan dan melancarkan serangan balasan.

https://p.dw.com/p/4f35q
Kawasan Myawaddy
Sebuah desa hancur lebur di Myawaddy Foto: Athit Perawongmetha/REUTERS

Militer Myanmar kehabisan tenaga dan menghadapi banyak kekalahan di seluruh negeri, tandas para analis kepada DW, setelah sebuah kota penting di dekat perbatasan Thailand jatuh ke tangan pasukan prodemokrasi.

Kota Myawaddy direbut oleh Tentara Pembebasan Nasional Karen, sayap bersenjata dari Persatuan Nasional Karen KNU, yang merupakan bagian dari aliansi besar antijunta militer Myanmar.

Jatuhnya Myawaddy ke tangan pemberontak dianggap sebagai simbol kekalahan dan runtuhnya ekonomi junta militer. Dalam pertempuran tersebut KNU dan sekutunya memaksa lebih dari 600 tentara pemerintah dan anggota keluarga mereka menyerah.

Myawaddy sangatlah penting dalam perdagangan antara Thailand dan Myanmar. Barang bernilai miliaran dolar AS melintasi perbatasan ini setiap tahunnya.

Pemberontak juga mendesak pasukan yang dikendalikan oleh pemerintahan militer Dewan Administrasi Negara SAC di wilayah-wilayah lain Myanmar.

"Di lapangan, SAC mengalami kemunduran di beberapa lokasi, di Kachin, Arakan, dan Karenni dan Shan,” ujar analis independen Myanmar David Scott Mathieson kepada DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Pemberontak melancarkan 'Operasi 1027'

Aksi protes terhadap kudeta militer pada Februari 2021 meningkat menjadi pemberontakan bersenjata dan kemudian menjadi perang saudara besar-besaran, ketika berbagai kelompok politik dan etnis di Myanmar bersatu dalam perlawanan bersenjata melawan junta militer.

Pada bulan Oktober 2023, aliansi kekuatan oposisi melancarkan serangan besar-besaran di Negara Bagian Shan di utara Myanmar. Dijuluki "Operasi 1027", sesuai dengan tanggal peluncurannya, serangan balik tersebut berhasil merebut puluhan kota kecil dan ratusan pos yang dikuasai junta. Serangan tersebut telah memberikan momentum kepada kelompok oposisi lainnya, dan pertempuran meningkat ke tingkat nasional.

Militer 'tidak dapat memecah belah dan menaklukkan'

Zachary Abuza, seorang profesor di National War College di Washington yang fokus pada politik dan keamanan Asia Tenggara, mengatakan berbagai pertempuran tersebut melemahkan junta militer.

"Pasukan oposisi bertempur di delapan zona pertempuran berbeda di seluruh negeri. Bukan berarti ada satu kelompok yang kuat atau canggih, tapi kekuatan militer tersebar tipis, tidak mampu memecah belah dan menaklukkan,” kata Abuza kepada DW.

"Hal ini memungkinkan Tentara Kemerdekaan Kachin KIA, AA, KNU, dan kelompok etnis lainnya memperoleh keuntungan teritorial yang signifikan. Kekuatan militer telah terkuras secara signifikan dan terdapat gangguan signifikan dalam hal logistik, sehingga sangat sulit mempercepat penempatan dan penambahan pasukan,” katanya.

"Militer belum mampu merebut kembali sejumlah besar wilayah yang telah lepas dari genggaman mereka sejak Operasi 1027 dimulai, meskipun mereka memfokuskan upaya mereka di jantung wilayah Bamar, yaitu Sagaing dan Magwe. Itu tetap menjadi prioritas mereka, wilayah etnis berada di urutan kedua,” tambah Abuza.

Perang mencapai Naypyidaw

Di Rakhine, Tentara Arakan AA, yang merupakan sayap bersenjata dari Liga Persatuan kelompok etnis Arakan, memperoleh keuntungan setelah perjanjian gencatan senjata sebelumnya berakhir pada bulan November. AA telah merebut setidaknya enam kota kecil di negara bagian tersebut dan terus berjuang untuk menguasai lebih banyak wilayah.

Bahkan sebelum jatuhnya Myawaddy, pemberontak telah menguasai lebih dari 60% wilayah negara itu, demikian menurut Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar NUG, organisasi yang mengklaim dirinya sebagai pemerintahan sah Myanmar.

Ketegangan ini kemungkinan akan meningkat, jika pemberontak melakukan perlawanan di wilayah perkotaan yang sebelumnya tidak terkena dampak konflik. Bulan ini, mereka melancarkan serangan roket dan drone ke Naypyidaw, ibu kota Myanmar yang dijaga ketat, dan menghantam pangkalan junta di dekat bandara kota tersebut.

"Serangan di Naypyidaw dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi para jenderal. Saya rasa, penting bagi pasukan oposisi untuk meningkatkan jumlah serangan di wilayah perkotaan,” kata Abuza.

Takut pembalasan militer

Ketika konflik ini menempatkan pihak militer dalam posisi lemah, junta berupaya meningkatkan pangkat dan jumlah personel bersenjatanya. Baru-baru ini pemerintah kembali memberlakukan wajib militer, yang mengharuskan pria dan perempuan untuk ikut wajib militer setidaknya selama dua tahun. Dari 56 juta penduduk, 14 juta memenuhi syarat untuk dinas militer.

Militer punya target untuk merekrut 60.000 anggota baru setiap tahunnya, dan 5.000 orang sampai akhir April ini. Potensi pertambahan personil ini, ditambah dengan kekuatan junta yang besar, menunjukkan bahwa rezim tersebut masih cukup kuat dan tidak akan menyerah.

"Militer mempunyai kawasan yang luas untuk dijadikan tempat mundur, dengan jaringan pangkalan dan produksi senjata. Mereka mungkin kalah, tapi ini tidak berarti mereka sudah habis-habisan. Ini adalah rezim yang selalu menganggap taktik bumi hangus sebagai hal biasa," kata Mathieson.

Juru bicara faksi pemberontak KNU, Padoh Saw Taw Nee mengaku khawatir dengan respons militer yang diperkirakan akan terjadi setelah Myawaddy direbut.

"Balasan dari SAC harus diwaspadai. Setiap kali mereka kalah seperti itu, biasanya mereka melakukan pembalasan besar-besaran dengan serangan udara. Mereka selalu mengatakan bahwa, kapan pun Anda menguasai sebuah tempat, tidak masalah – kami hanya perlu menghancurkan tempat ini sehingga Anda tidak dapat mengatur administrasi Anda dari situ," ujarnya. (hp/ap)