Jokowi Pidato Visi Indonesia, Pengamat Bertanya tentang HAM
15 Juli 2019Minggu (14/07) malam, bertempat di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Presiden Republik Indonesia sampaikan pidatonya yang bertajuk Visi Indonesia 2019-2024. Jokowi yang mengenakan kemeja khasnya berwarna putih hadir bersama sang istri, Iriana Widodo serta Wakil Presiden terpilih Ma'ruf Amin yang juga didampingi istri, Wury Estu Handayani.
Ini merupakan kali pertama Jokowi memberikan pidato setelah Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menetapkan Jokowi – Ma'ruf pada 30 Juni lalu sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024. Pidato ini juga disampaikan satu hari selang perjumpaan Jokowi dengan kompetitor politiknya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di dalam moda MRT.
Mengawali pidatonya, Jokowi berpendapat bahwa lingkungan global yang sangat dinamis menuntut pemerintah untuk menghadirkan pola baru yang lebih efektif dan efisien dalam mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi Indonesia.
"Manajeman seperti ini lah yang kita perlukan sekarang ini. Kita harus menuju negara yang lebih produktif, mempunyai daya saing, mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam menghadapi perubahan-perubahan itu," ujar Jokowi dalam pidatonya.
Lima tahapan besar
Mantan Walikota Solo ini mengaku telah menyiapkan lima tahapan besar demi terwujudnya Visi Indonesia tersebut. Lima tahapan itu adalah pembangunan infrastruktur yang akan terus dilanjutkan, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, membuka peluang investasi sebesar-besarnya, mereformasi birokrasi di Indonesia dan menjamin penggunaan APBN yang tepat sasaran.
Kepada DW Indonesia, Arif Susanto, pengamat politik dari Exposit Strategic, menyampaikan bahwa pidato Jokowi merepresentasikan sikap konsisten Jokowi terkait fokusnya untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
"Menegaskan pendekatan teknokratik Jokowi dalam mengelola pemerintahan, kelima hal tersebut memang konsisten dengan gagasan dasar yang telah disampaikan berulang-ulang pada berbagai kesempatan oleh Jokowi dalam lima tahun terakhir. Konsistensi tersebut juga menunjukkan fokus yang menjadi prioritas kepemimpinannya, yang akan berlanjut lima tahun mendatang," terang Arif.
"Menilik capaian ekonomi lima tahun terakhir, dengan beberapa catatan kritis, orang dapat melihat secara objektif bahwa pemerintah relatif mampu bersiasat di tengah situasi nasional maupun global yang tidak selalu kondusif," Arif menambahkan.
Dalam pidatonya, Jokowi menyebutkan infrastruktur dibutuhkan untuk menyambungkan kawasan-kawasan produksi rakyat, kawasan industri kecil, kawasan ekonomi khusus, hingga kawasan pariwisata, demi menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seperti yang kita ketahui, Jokowi berambisi untuk membangun ulang Indonesia dengan menghadirkan infrastruktur besar-besaran seperti jalan tol sepanjang 5.400 km, 25 bandara baru, hingga sejumlah pembangkit listrik baru. Tidak tanggung-tangung, anggaran senilai 6.000 triliun rupiah tengah disiapkan demi terwujudnya rencana tersebut.
Jaminan kesehatan bagi ibu hamil, balita dan anak-anak dinilai menjadi titik tolak dalam mencetak sumber daya manusia yang unggul. Lima tahun terakhir diketahui Jokowi gencar untuk menyebarkan kartu-kartu saktinya dalam membangun SDM, salah satunya adalah Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar.
"Jangan sampai ada stunting, kematian bayi, kematian ibu (hamil) yang semakin meningkat. Kualitas pendidikan akan terus kita tingkatkan," ujar Jokowi.
"Diaspora yang bertalenta tinggi harus kita berikan dukungan agar memberikan kontribusi besar pada percepatan pembangunan Indonesia," lanjutnya.
Jokowi juga berjanji akan membuka peluang investasi seluas-luasnya bagi para investor sehingga lapangan pekerjaan akan semakin terbuka lebar. Diketahui pertumbuhan Foreign Direct Investment (FDI) di Indonesia, atau yang biasa disebut dengan nilai investasi asing langsung, beberapa tahun terakhir cenderung mengalami penurunan.
Hal ini juga mesti didukung dengan kondisi birokrasi yang baik sehingga kecepatan pelayanan dan pemberian izin menjadi kunci dari dua tahapan besar tersebut. Ia pun mengimbau agar menteri-menterinya nanti lebih berani dalam memimpin lembaganya masing-masing.
"Hati-hati, saya pastikan akan saya kejar, akan saya kontrol, akan saya cek, akan saya hajar kalau diperlukan," tegas Jokowi yang disambut riuh para simpatisannya.
Baca juga: Kasak-Kusuk Reshuffle Kabinet Jokowi
Menanggapi ini, Arif menilai perlu lebih dari sekedar pendekatan teknokratik untuk menjawab masalah teknis pengelolaan pemerintahan yakni dengan perspektif yang lebih komprehensif diikuti solusi yang simultan. "Tanpa itu, birokrasi akan bekerja hanya untuk menyelesaikan masalah keseharian," pungkas Arif saat dihubungi DW Indonesia.
Jaminan HAM dan penegakan hukum
Pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar, menyampaikan terdapat beberapa esensi dalam pidato yang dibacakan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Selain dari lima tahapan besar tersebut, ia mengapresiasi poin terkait persatuan dan kesatuan bangsa yang ditekankan Jokowi di penghujung pidatonya. Karena menurut Idil, saat ini sudah tidak ada lagi kubu 01 dan 02, hingga rakyat harus fokus dalam merajut persatuan berbangsa dan bernegara.
"Pilpres sudah selesai dan yang harus dilakukan kali ini bagaimana membangun Indonesia, mengisi persatuan Indonesia dengan benar, saling berkolaborasi melengkapi satu dengan lainnya," jelas Idil saat diwawancarai DW Indonesia.
Ada beberapa catatan penting menurut Idil dalam visi Jokowi tersebut yang luput tidak dihadirkan. Salah satunya mengenai masalah kondisi perekonomian Indonesia. Menurutnya, penting bagi Jokowi bisa menjelaskan duduk persoalan kondisi ekonomi negeri.
"Saya tidak menangkap pidato semalam itu bagaimana seharusnya mengendalikan ekonomi di Indonesia sendiri, internal, secara mikro terutama. Itu penting juga, bisalah beliau bicara misalnya berkomitmen untuk mengendalikan harga lalu komitmennya kepada pemenuhan sembako. Itu yang paling ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia," papar Idil.
Lebih lanjut Idil juga mempertanyakan komitmen Jokowi tentang penyelesaian kasus HAM yang masih jalan di tempat dan juga keseriusan Jokowi dalam menegakkan hukum di Indonesia. "Misalnya tentang penyelesaian HAM, saya kira perlu, hal-hal yang berkaitan dengan HAM harus segara diselesaikan, kasus Munir harus segera dituntaskan, beberapa kasus HAM lain juga perlu dituntaskan," ujarnya saat diwawancarai DW Indonesia.
Senada dengan Idil, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, menyesalkan pidato Jokowi yang sama sekali tidak menyinggung pentingnya membangun negara berdasarkan hukum maupun soal jaminan hak asasi manusia. Pasalnya, Indonesia sebagai negara hukum semestinya meletakkan pembangunan negara berdasarkan hukum (rule of law) sebagai prioritas pemerintahannya.
"Rule of Law Index yang dikeluarkan oleh World Justice Project telah mencatat bahwa sepanjang empat tahun terakhir, skor Indonesia cenderung stagnan kalau tidak ingin dikatakan cenderung menurun. Pada 2019, skor Indonesia adalah 0,52. Perolehan nilai 0,52 dari skala 0 - 1 menandakan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah ke depan," jelas Anggara dalam pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia.
Ia meyakini pembangunan negara hukum merupakan kewajiban konstitusional bagi setiap Presiden Republik Indonesia. Tantangan untuk memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia menjadi salah satu pekerjaan rumah Jokowi, empat faktor di antaranya yakni pemenuhan hak tersangka selama proses peradilan, pemenuhan prinsip persamaan di muka hukum, pemenuhan prinsip peradilan yang kompeten, independen dan imparsial, serta pemenuhan prinsip pendampingan oleh penasihat hukum.
rap/na (dari berbagai sumber)