Jokowi dan Reformasi Birokrasi
23 Juli 2014Berdasarkan debat Capres dan Cawapres yang digelar KPU selama masa kampanye, nampaknya kata kunci bagi rezim Jokowi kelak adalah reformasi birokrasi. Jokowi mematok target 7% pertumbuhan ekonomi di masa kepemimpinannya. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi pada level seperti Cina saat ini tentu bukan perkara mudah, tapi juga bukan hal yang mustahil. Diperlukan pembangunan infrastruktur yang massif dan ditunjang oleh penguatan sumber daya manusia untuk mencapai impian itu. Namun yang jauh lebih mendasar sebetulnya adalah penguatan institusi birokrasi sebagai penyelenggara negara.
Mark Turner (peneliti dari University of Canberra) menemukan bahwa performa birokrasi menentukan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Singapura dan Malaysia, misalnya, 50 tahun terakhir mencapai pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan, peningkatan tingkat harapan hidup, dan kemajuan pendidikan dimulai dari perbaikan performa birokrasi yang juga mengagumkan.
Kita berharap banyak Jokowi dan Jusuf Kalla bisa mewujudkan peningkatan kinerja birokrasi melalui serangkaian program reformasi yang massif. Ketika ditanya mengenai cara mengurangi korupsi, pada debat kandidat yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum, Jokowi mengajukan reformasi birokrasi sebagai jawabannya. Saat itu ia merinci bahwa proses rekrutmen kaum birokrat merupakan unsur yang maha penting yang akan menentukan pengurangan korupsi di Indonesia. Dia mengusulkan sistem rekrutmen terbuka atau lelang terbuka (open recruitment).
Jokowi sudah memulai menerapkan sistem lelang terbuka untuk lurah dan camat se-DKI Jakarta tahun 2013. Basuki Tjahaya Purnama menyatakan bahwa open recruitment yang pemerintah DKI Jakarta jalankan tahun 2013 berhasil mengubah 70 % wajah birokrasi di ibu kota. Selain itu, pemerintah kota juga berhasil mengidentifikasi 700 pegawai negeri yang memiliki skill tinggi yang sewaktu-waktu bisa menempati posisi-posisi penting mulai pada level tertinggi sampai pada birokrasi level lapangan (street-level bureaucracy) DKI Jakarta.
Street-level bureaucracy adalah ujung tombak penyelenggaraan negara. Merekalah yang sesungguhnya secara langsung berhadapan dengan masyarakat. Mereka pula yang mengetahui detil persoalan. Para pemimpin yang terpilih melalui proses politik tidak akan bisa berbuat banyak jika birokrasi level lapangan ini tidak memiliki kualitas yang baik. Mungkin masih terlalu dini untuk menilai apakah open recruitment yang telah diterapkan di Jakarta menuai dampai positif pada performa birokrasi atau tidak. Kenyataan di lapangan adalah bahwa rezim Jokowi-Ahok di Jakarta berhasil merevitalisasi sejumlah pasar dan waduk hanya dalam tempo kurang dari tiga tahun. Pelayanan pada level kecamatan dan kelurahan juga meningat tajam.
Yang perlu dilakukan oleh Jokowi adalah mengangkat sistem lelang jabatan itu ke level nasional dan memperluasnya ke posisi-posisi birokrasi yang lebih banyak. Pada level nasional, sebetulnya sistem open recruitment sudah menjadi satu dari 10 agenda reformasi nasional (Kemenpan, 2013). Kementerian pendayagunaan aparatus negara bahkan sudah merinci langkah demi langkah penerapan sistem lelang terbuka untuk jabatan-jabatan tertentu dalam birokrasi.
Jika ini berhasil dijalankan oleh pemerintahan Jokowi dengan baik, ada sejumlah persoalan besar yang kemungkinan akan tertangani dalam lima tahun ke depan. Yang pertama adalah korupsi. Sistem lelang terbuka akan mendorong perbaikan mutu para birokrat. Sistem ini juga secara langsung akan meningkatkan iklim kompetisi dalam birokrasi. Dalam sistem birokrasi tradisional, promosi jabatan hanya didasarkan pada lamanya pengabdian dan upgrade kemampuan melalui training formal (Hughes 2003). Konsekuensi langsung dari sistem lama ini adalah tertutupnya peluang bagi para birokrat muda bertalenta untuk menduduki jabatan yang sesuai dengan kemampuannya. Sementara biroktrat lama akan terus dipromosikan menduduki jabatan penting hanya karena ia sudah lama mengabdi, meskipun sebetulnya tidak punya kemampuan yang baik. Dengan tiadanya iklim kompetisi dan rasa krisis karir, para birokrat di era birokrasi tradisional, tidak memiliki insentif untuk bekerja maksimal.
Bayangkan, ada 60 juta individu Indonesia yang seharusnya membayar pajak. Hanya 20 juta di antaranya yang melaporkan diri sebagai wajib pajak. Yang benar-benar patuh membayar pajak hanya sebesar 8,8 juta orang. Dari 5 juta badan usaha, 1,9 juta saja yang mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. Dan yang benar-benar membayar pajak hanya 520 ribu badan usaha (Manurung 2013). Lalu silakan terperangah. Di Malaysia, negara yang bahkan belum demokratis, tingkat kepatuhan pajak dari wajib pajak mencapai 80%. Pembicaraan kita masih tentang lemahnya negara mengumpulkan pajak. Kita belum bicara soal bagaimana dana negara dari pajak yang jauh sekali dari maksimal itu dikelola. Maka tidak bisa tidak kita membutuhkan suatu gerakan massif memperbaiki mutu dan meningkatkan kinerja para penyelenggara negara beberapa kali lipat.
Sekali lagi, tentu ini bukan perkara mudah. Mark Turner menemukan bahwa kesulitan mereformasi birokrasi di negara-negara Asia disebabkan oleh budaya patronase yang sangat kuat. Patronase adalah semangat perkawanan di mana individu yang memiliki status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk melindungi dan memberi keuntungan bagi yang berkedudukan lebih rendah (client), sementara sang client pada gilirannya memberi dukungan dan bantuan termasuk pelayanan personal bagi sang patron (Turner, 2013: p. 277). Definisi ini menjelaskan bagaimana hubungan antar birokrat di Indonesia, di mana yang berposisi lebih tinggi ‘mengayomi' yang lebih rendah, sementara pegawai rendah memberi pelayanan. Hubungan antar-birokrat Indonesia di era modern ini masih belum beranjak terlalu jauh dari budaya kerajaan masa silam. Dan sekarang kita berharap pria kurus dari Solo, salah satu pusat kerajaan Jawa, untuk memperbaikinya. Semua kita patut mendukungnya.
Saidiman Ahmad
Mahasiswa tingkat master Crawford School of Public Policy, Australian National University