Jepang dan Nasionalismenya
17 Oktober 2012Ratusan warga Jepang awal Oktober lalu berarak melalui pusat perbelanjaan Shibuya di Tokyo hingga ke gedung Kedutaan Besar Cina yang dijaga ketat. "Keluar dari Jepang!" teriak para demonstran dan menuding Cina menduduki kepulauan Senkaku yang diperebutkan kedua negara.
Aksi tersebut menandai kebangkitan kembali nasionalisme di Jepang yang lama tenggelam pasca kekalahan di Perang Dunia ke-2. Memang tidak menyerupai amarah dan sikap anti Jepang yang membara di Cina, tidak ada kaca yang pecah atau produk-produk yang dibakar.
Adalah sebuah kelompok kecil esktrem kanan, "Gambare Nippon" yang menggelar aksi tersebut. Pendirinya adalah bekas perwira Angkatan Udara, Jendral Toshio Tamogami. 2008 lalu ia dipensiunkan dini lantaran mendesak pemerintah dan masyarakat meninggalkan sikap pasifisme yang menggarisi politik luar negeri Jepang sejak lebih dari lima dekade terakhir.
Menurut Tamogami, sekarang adalah "saat yang tepat" untuk "memperkuat pertahanan" Jepang. Aktivis-aktivis partainya Agustus lalu menduduki kepulauan Senkaku sebagai aksi protes terhadap klaim Cina.
Belum Raih Simpati Luas
Sejauh ini kelompok nasionalis belum mampu merebut simpati penduduk. Suara-suara patriotisme juga belum mampu menemukan tempat di media-media besar.
Kendati begitu geliat kelompok ekstrem kanan itu bukan tanpa meninggalkan jejak. Berulangkali pendukung "Gambane Nippon" unjuk gigi, misalnya saat mengelilingi kedutaan besar China atau kawasan pemukiman Korea di kota Tokyo dan Osaka dengan bus bewarna hitam sembari mengibarkan bendera militer tua yang menggambarkan bola matahari dengan 16 garis cahaya.
Penduduk menyebutnya "Uyoku" atau sayap kanan dan jumlahnya ditaksir mencapai ribuan orang. Sekitar 800 kelompok tergabung dalam "Zenai Kaigi," sebuah konfrensi yang digelar oleh kelompok nasionalis dan memiliki afiliasi dengan organisasi kriminal, Yakuza. Termasuk di antaranya penulis Yukio Mishima, yang bunuh diri dengan cara tradisional samurai tahun 1970.
Betatapun juga penduduk Jepang tidak bereaksi pasif atas perkembangan seputar kepulauan Senkaku. Berbagai suara yang menuntut ketegasan pemerintah, belakangan kian lantang terdengar. Tokoh yang ikut menyuarakan hal tersebut adalah Shintaro Ishihara, Gubernur Tokyo yang berusia 80 tahun itu pernah membuat kumpulan essay berjudul "Jepang bisa menolak!" bersama Presiden Sony, Akio Morita.
Dalam tulisannya Ishihara mendesak pemerintah Jepang mengurangi ketergantungannya dari Amerika Serikat. Pria yang memerintah Tokyo sejak 1999 itu juga dikenal lantaran pandangan buruknya tentang Cina, penduduk asing dan perempuan. Terakhir ia membuat pernyataan kontroversial saat menyangkat pembantaian terhadap warga sipil Cina di Nanking, 1937, oleh serdadu Jepang.
Awal tahun ini Ishihara menyulut konflik dengan mempropagandakan pembelian kepulauan Senkaku oleh pemerintah kota Tokyo. Kepada Wall Street Journal ia mewanti-wanti, "ingatlah Tibet," katanya. Tibet tidak memiliki negara atau pemimpin, serta kehilangan budayanya. "Saya tidak ingin Jepang menjadi Tibet kedua," katanya. Ia mendesak pemerintah memperkuat pertahanan di Senkaku dan menempatkan pasukan secara permanen.