"Isu LGBT di Indonesia Tidak Hitam dan Putih"
22 September 2017Indonesia secara resmi menerima dua rekomendasi Dewan HAM PBB untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berserikat bagi "semua pegiat Hak Asasi Manusia," termasuk aktivis LGBT. Awalnya pemerintah berniat menolak semua rekomendasi terkait catatan pelanggaran HAM. Namun kini Indonesia berkomitmen akan mengambil langkah hukum terhadap ujaran kebencian dan tindak kekerasan terhadap pegiat HAM dan mencabut peraturan yang berpotensi diskriminatif.
Meski begitu pemerintah menolak desakan untuk menggugurkan peraturan daerah yang mendiskriminasi kelompok minoritas seksual.
Kepada Deutsche Welle pegiat hak sipil dari komunitas LGBT, Hartoyo, menyambut sikap pemerintah tersebut. Meski begitu dia mewanti-wanti terhadap tekanan politik dan perdebatan nasional yang bisa berdampak fatal bagi nasib komunitas LGBT di Indonesia.
---
DW: Menurut anda apa dampak nyata dari sikap Indonesia itu terhadap upaya advokasi untuk melindungi hak sipil kelompok minoritas seperti LGBT?
Hartoyo: Begini, kami sudah mendapat status legal dari Kementerian Hukum dan HAM sejak 2013. Tapi memang pemerintah tidak menyarankan mencantumkan isu LGBT di akta notaris. Jadi tahu sama tahu saja. Maka sepertinya semua organisasi pro LGBT dilarang secara eksplisit mengangkat isu LGBT sebagai organisasi.
Apakah artinya sekarang organisasi pro LGBT bisa secara terbuka mengangkat isu diskriminasi terhadap kaum minoritas seksual?
Seharusnya, karena sikap pemerintah ikut mencantumkan kelompok LGBT, ini berarti sebuah kemajuan. Tapi saya tidak terlalu yakin untuk praktik di lapangannya. Maksudnya sampai satu atau dua tahun ke depan saya tidak yakin pemerintah akan mau menerima pendaftaran organisasi yang mencantumkan secara jelas isu LGBT. Tapi meski tidak besar dampaknya, kami mengapresiasi sikap pemerintah karena bisa menjadi basis hukum buat kami untuk melakukan advokasi di level nasional.
Apakah keputusan Indonesia di Jenewa benar-benar mencerminkan sikap pemerintah terkait isu LGBT, mengingat maraknya presekusi terhadap kaum minoritas seksual belakangan ini?
Menurut saya melihat isu LGBT dalam konteks Indonesia tidak bisa lewat kacamata hitam putih. Pemerintah Jokowi atau yang sebelumnya tidak pernah mempermasalahkan kelompok LGBT. Tapi dalam praktik di lapangannya, isu ini sering dimainkan oleh lawan politiknya. Jadi dalam praktiknya pemerintah, seperti juga kasus pembantaian 1965, akan tersandera jika isu LGBT muncul. Jadi di lapangan masih akan ada penangkapan dan penggerebekan karena desakan masyarakat, meski tidak ada pelanggaran hukum sama sekali.
Apakah pemerintah sebenarnya bisa ditekan untuk mematuhi komitmennya terhadap kelompok minoritas mengingat besarnya tekanan politik terkait keberadaan kaum LGBT?
Sebenarnya bisa. Bisa banget. Pertanyaannya adalah apakah kami cukup serius apa tidak, cukup telaten atau punya tawaran yang pragmatis apa tidak. Karena masuknya kan ke isu-isu yang sifatnya normatif seperti pendidikan yang harus diintegrasikan pada kampanye untuk LGBT. Jadi sebenarnya saya punya akses yang cukup mudah ke jajaran petinggi kabinet, tapi mereka pertanyaannya kan selalu, apa yang bisa kami lakukan dan tawaran pragmatisnya seperti apa. Nah ini yang kami dari komunitas LGBT masih agak gagap.
Jadi maksud anda perdebatan nasional mengenai isu LGBT justru bisa berbahaya, tapi ketika isunya dialihkan pada hak sipil seperti diskriminasi dan persamaan hak, hasilnya lebih positif?
Iya. Saya setuju. Makanya konsep Pancasila pak Yudi Latif (Kepala Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila -red) bersifat damai, persaudaraan dan anti kekerasan. Dan itu menurut saya cara paling efektif. Tapi pertanyaannya bagaimana kelompok LGBT masuk ke dalam ruang itu dan ikut memberi warna. Karena apapun alasannya, melakukan presekusi, tindak kekerasan dan memaksakan kehedak melanggar nilai-nilai Pancasila.
Wawancara disunting oleh Rizki Nugraha