Iran Perkenalkan Rudal Baru Berdaya Jelajah Jauh
9 Februari 2022Peluru kendali teranyar milik Iran yang diberi nama Kheibarshekan pertamakali diperkenalkan dalam kunjungan petinggi militer di pangkalan rudal milik Garda Revolusi (IRGC), lapor kantor berita Tasnim, pada Rabu (9/2).
"Senjata strategis ini adalah peluru kendali jarak jauh generasi ketiga yang dikembangkan IRGC dan digerakkan bahan bakar solid, serta mampu mempenetrasi sistem pertahanan dengan daya manuver yang tinggi,” tulis media semi-resmi Iran tersebut.
"Desain Kheibarshekan yang sudah dimodifikasi, bobotnya sepertiga lebih ringan dari rata-rata peluru kendali di kelasnya”, demikan klaim Garda Revolusi. Keberhasilan itu bisa dicapai, meski waktu pengembangan dipangkas seperenam dari rencana awal.
"Kami akan terus melangkah menuju pertumbuhan, pengembangan dan keunggulan untuk kekuatan rudal kami, baik dalam hal kuantitas dan kualitas,” kata Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Mayjen Mohammad Bagheri, seperti dikutip Tasnim.
Dengan daya jelajah hingga 1.450 km, peluru kendali terbaru Iran itu bisa menjangkau seluruh wilayah Israel dan Arab Saudi, dua mitra terpenting AS di kawasan. Bahkan disebutkan, Iran juga punya rudal berdaya jelajah hingga 2.000 km.
Menurut laporan itu, angkatan bersenjata mendukung kelanjutan program pengembangan peluru kendali, terlepas dari perundingan nuklir yang kembali dilanjutkan di Wina, Austria.
Pasang surut perundingan nuklir
Dari lingkaran diplomat dilaporkan, proses negosiasi nuklir Iran yang melibatkan Uni Eropa, Cina, Prancis, Jerman, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat itu sudah memasuki fase penentuan.
Komisaris Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borell, mengatakan, saat ini "kedua pihak sudah menunjukkan kesediaan” untuk saling mengambil langkah insiatif. "Ada tawaran dari Amerika Serikat, lalu ada tawaran balasan,” dari Iran, kata dia.
"Saya tidak tahu apakah akan selesai dalam sepekan, dua pekan atau tiga pekan, tapi yang pasti kita sudah berada di fase terakhir negosiasi.”
AS menuntut Iran menghentikan program nuklirnya yang maju pesat sejak Perjanjian Nuklir 2015 dibatalkan mantan Presiden Donald Trump, 2018 lalu. Sebaliknya Teheran meminta AS terlebih dulu membatalkan sanksi ekonomi terhadap Iran.
Baru-baru ini, Washington memperpanjang pembebasan sanksi bagi program nuklir sipil Iran. Meski menyambut, Teheran menilai kebijakan tersebut tidak cukup.
"Sebuah perjanjian yang mengakomodasi kekhawatiran semua pihak sudah di depan mata,” kata seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Senin (7/2). "Tapi jika kesepakatan tidak tercapai dalam beberapa pekan ke depan, perkembangan teknologi nuklir Iran yang pesat akan mempersulit kembalinya Perjanjian Nuklir 2015.”
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan betapa Iran sudah sangat jauh melampaui batasan yang ditetapkan dalam perjanjian nuklir, dan kini hanya membutuhkan beberapa pekan untuk memperkaya jumlah materi yang cukup untuk membuat senjata nuklir.
Walaupun demikian, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional, Ali Shamkhani, menilai keputusan akhir bukan terletak di tangan Iran, melainkan di Washington.
"Suara-suara dari dalam pemerintahan Amerika Serikat menunjukkan tidak adanya kebulatan sikap di negara itu untuk membuat keputusan politik demi memajukan perundingan di Wina,” tulisnya via Twitter.
rzn/as (rtr,afp)