Indonesia Antisipasi Teror Islamic State
25 November 2015
Sutiyoso gemar mengumbar angka. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu baru-baru ini mengklaim ada "lebih" dari 100 anggota Islamic State yang pulang ke Indonesia. "Kami bina mereka terus dan monitor kegiatan mereka," katanya kepada wartawan.
Sikap awas spion nomer satu di Indonesia itu memang bisa dimaklumi. Indonesia mulai waspada sejak kelompok peretas Anonymus merilis daftar curian berisi negara yang menjadi incaran aksi teror kelompok Abu Bakar al-Baghdadi tersebut.
Kementrian Transportasi misalnya memerintahkan agar pengamanan di bandar udara diperketat. "Level bahayanya sudah ditingkatkan dari hijau menjadi kuning karena meningkatnya ancaman terhadap penerbangan sipil," ujar Jurubicara Julius Barata.
Tapi klaim Sutiyoso ihwal 100 anggota IS dinilai berlebihan oleh pengamat terorisme Asia Tenggara, Sidney Jones. Direktur Institute for Polcy Analysis of Conflict itu mengatakan WNI yang disebut Sutiyoso tidak pernah tiba di Suriah.
"Yang benar ada lebih dari 100 orang yg atau dideportasi oleh Turki dan dicegah berangkat dari bandara Soekarno-Hatta," tulisnya kepada DW. Mereka tidak lebih adalah simpatisan "yang ingin ke Suriah tapi yang tidak pernah sampai."
Lebih lanjut menurut Sidney dari 100 WNI itu, "sekitar 50% diantaranya adalah perempuan dan anak-anak. Yang benar benar pulang setelah mengikuti pelatihan dari Suriah sekitar 10 orang," imbuhnya.
Klaim tersebut diamini oleh Staf Khusus Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Wawan Hari Purwanto. Kepada Indopos Wawan mengakui tidak semuanya berpotensi bahaya. "Ada juga yang menjadi tukang masak, perawat, dan sebagainya. Memang ada beberapa yang diketahui berposisi di garis depan pertempuran, tapi sudah diketahui," tuturnya.
Namun meski begitu pemerintah Indonesia diminta tetap waspada. Menurut Sidney Jones, jika ada pejuang yang kembali dari Suriah "dengan pengalaman tempur, komitmen ideologi yang mendalam, ketrampilan militer yang hebat, kontak dengan jihadi internasional dan legitimasi sebagai pemimpin, mereka bisa menghidupkan kembali gerakan ektremis di Indonesia," ujarnya kepada DW.
rzn/yf (dari berbagai sumber)