1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IptekIndia

India Tingkatkan Kemampuan AI, tapi Seberapa Efektif?

19 Oktober 2023

Teknologi AI membantu bentuk lanskap pertahanan India yang menguntungkan dalam operasi dan keamanan perbatasan negara ini.

https://p.dw.com/p/4XjVb
Militer India
India menggunakan teknologi AI untuk membantu militernyaFoto: David Talukdar/NurPhoto/picture alliance

Dengan meningkatkan kemampuan operasionalnya, Angkatan Darat India mengerahkan sistem pengawasan Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan di sepanjang perbatasannya dengan Pakistan dan Cina.

Sekitar 140 sistem pengawasan berbasis AI telah dikerahkan, yang mencakup kamera beresolusi tinggi, sensor, umpan kendaraan udara tak berawak (UAV), hingga umpan radar, kata para pejabat. Data ini kemudian dikumpulkan dan diterapkan melalui teknologi AI, dengan mendeteksi adanya gangguan di perbatasan serta kemampuan mengklasifikasikan target.

Meningkatkan penerapan AI

Perangkat lunak pemantauan secara langsung berbasis AI ini juga telah digunakan untuk menghasilkan strategi intelijen dalam operasi kontra teroris.

Angkatan Darat India juga telah mulai memanfaatkan teknologi simulator militer berteknologi tinggi untuk melatih angkatan pertama rekrutannya, di mana kemungkinan besar akan menandai prevalensi di hampir semua pelatihan militer dalam waktu dekat.

"AI dapat menjadi pengubah permainan dalam bidang logistik, operasi informasi, pengumpulan, dan analisis intelijen," kata seorang pejabat senior Kementerian Pertahanan India kepada DW. "Meskipun pengadopsian teknologi AI militer India ini relatif baru, kami telah membuat kemajuan besar dalam meluncurkan perangkat militer berkemampuan AI."

Dengan menggunakan pesawat drone dan robot bertenaga AI untuk berpatroli di perbatasan, kemajuan itu juga memberikan peningkatan cakupan dan mengurangi kebutuhan campur tangan manusia secara langsung dalam situasi berbahaya.

Militer India
Drone pertahanan kini menjadi hal yang lumrah di kalangan militer IndiaFoto: David Talukdar/NurPhoto/picture alliance

Menteri Pertahanan India Rajnath Singh telah meluncurkan 75 teknologi AI yang baru dikembangkan selama simposium "AI untuk Pertahanan" pertamanya pada bulan Juli lalu, di mana produk-produk seperti robotika, alat otomasi, dan pengawasan intelijen dipamerkan.

Amerika Serikat dan India juga telah sepakat untuk meluncurkan "Dialog Kecerdasan Buatan Pertahanan", serta berkomitmen untuk memperluas pelatihan siber bersama.

Pada awal tahun ini, di Aero India, salah satu pameran udara terbesar di Asia, perangkat lunak pengawasan berbasis kecerdasan buatan yang disebut "AGNI-D” secara resmi diluncurkan. Perangkat lunak ini digunakan di sektor timur Ladakh, sebuah wilayah yang memiliki kepentingan strategis karena kedekatan wilayahnya dengan Cina.

AGNI-D dapat mengenali gerakan, senjata, kendaraan, tank, bahkan rudal apa pun yang ditangkap oleh kamera pengintai untuk militer ini, baik secara langsung maupun yang direkam. Dengan algoritme yang canggih, sistem berbasis AI ini dapat menganalisis rekaman video dan mengidentifikasi pergerakan di sepanjang perbatasan serta mampu memperingatkan tentara tentang aktivitas yang dianggap mencurigakan.

Apa Itu Generative AI?

Pengaruhnya terhadap alat perang

Menurut Delhi Policy Group (DPG), sebuah wadah pemikir keamanan, militer India mengalokasikan sekitar $50 juta dolar (sekitar Rp792 miliar) untuk pengembangan teknologi AI ini setiap tahunnya.

"Ini merupakan langkah awal yang baik, tetapi jelas tidak memadai dibandingkan dengan penantang strategis utama kami, Cina, yang menghabiskan lebih dari 30 kali lipat jumlah tersebut. Jika kami tidak ingin tertinggal dalam siklus teknologi, investasi yang lebih besar harus dilakukan, terutama untuk mempromosikan pemain industri lokal," kata DPG.

Meskipun AS dan Cina unggul dalam penelitian dan pengembangan teknologi dengan kecerdasan buatan, serta mengintegrasikan inovasi-inovasi mutakhirnya ke dalam sistem pertahanan negara masing-masing, India juga tengah mengejar ketertinggalannya. New Delhi tengah berusaha keras memposisikan dirinya di garis depan dalam strategi perang berteknologi cerdas.

"Dari pengawasan perbatasan hingga pengawasan komprehensif dan pesawat tak berawak yang dilengkapi dengan teknologi pesawat berbasis kecerdasan buatan yang unggul dalam melakukan misi pengintaian siang dan malam, India menyadari, seperti halnya militer di seluruh dunia, mengintegrasikan kecerdasan buatan ke dalam sistem peperangan itu penting," ungkap Letnan Jenderal Shankar Prasad, seorang analis pertahanan, kepada DW.

Apakah kecerdasan manusia akan terabaikan?

Namun, Prasad juga menunjukkan batasan dari sistem pengawasan tercanggih dan terinvasif sekalipun, di mana dia mengutip serangan mendadak terhadap Israel oleh kelompok teror Hamas pada tanggal 7 Oktober lalu, kini telah meluap menjadi perang berskala penuh.

"Ini adalah pelajaran berat yang harus kita pelajari. Pengawasan dan intelijen Israel termasuk yang paling canggih. Namun, mereka gagal mendeteksi serangan diam-diam dan bahkan tidak diberi sinyal peringatan dini," kata Prasad.

Pandangan Prasad juga dibenarkan oleh Letnan Jenderal P.R. Kumar, mantan Direktur Jenderal Operasi Militer India, yang percaya bahwa intelijen manusia tetap diperlukan untuk menginterpretasikan data yang diperoleh dari solusi teknologi AI.

"Ketika berbicara tentang tindakan kontra-pemberontakan dan kontra terorisme, tidak ada situasi yang hitam dan putih," kata Kumar kepada DW. "Penyadapan elektronik pada komunikasi atau data AI tidak dapat memberikan hasil yang mutakhir, terutama ketika aktivitas manusia masih sulit untuk ditafsirkan."

"Kecerdasan buatan dapat memiliki kemampuan militer yang inovatif, tetapi manusia perlu menafsirkan dan membaca data ini agar tetap berguna," tambah Kumar.

Mobilitas Otonom Niremisi Dominasi Masa Depan

Kecerdasan buatan, suatu keharusan dalam pertahanan modern

Letnan Jenderal Ravi Sawhney, pensiunan wakil kepala angkatan bersenjata, menunjukkan bahwa kecerdasan buatan itu merupakan salah satu dari sekian banyak teknologi canggih yang menjanjikan untuk mengubah strategi peperangan di tahun-tahun mendatang.

"Saat ini sudah berada pada tahap di mana strategi pertahanan yang tidak mengadopsi AI akan menjadi lebih miskin secara teknologi. Masalahnya adalah mengumpulkan dan menganalisis informasi bisa menjadi proses yang cukup memakan waktu," ungkap Sawhney kepada DW.

"Namun, yang terpenting adalah bahwa ketergantungan yang lebih besar pada teknologi AI untuk kekuatan militer ini akan membuat elemen manusia dalam peperangan menjadi lebih penting, bukan lebih sedikit," tambahnya.

(kp/ha)