Harga Mahal untuk Produk Murah
14 Desember 2012Sebuah pullover seharga 20 Euro, sebuah celana panjang jeans hanya seharga 30 Euro. Bahwa permintaan pasar akan mode berharga murah menyebabkan penderitaan pekerja sudah diketahui banyak konsumen Jerman. Di negara bagian Tamil Nadu di India selatan berlaku sebuah sistem, yang disebut Sumangali. Sistem ini melanggar hak asasi manusia, tetapi sudah tertanam dalam masyarakat. Kata Sumangali yang berasal dari bahasa Tamil berarti, "perempuan yang membawa kesejahteraan".
Orang tua menyerahkan anak mereka kepada pabrik-pabrik tekstil atau perusahaan pemintalan, agar mereka dapat mengumpulkan uang yang akan mereka bawa ke dalam pernikahan. Di pabrik-pabrik itu mereka kemudian disalahgunakan. Upah untuk pekerjaan selama 12 jam biasanya di bawah 60 sen, atau tidak sampai 7.000 Rupiah sehari. Mereka dijanjikan akan mendapat bonus sekitar 500 Euro (6 juta Rupiah).
Tapi itu hanya mereka peroleh, jika mereka benar-benar bekerja selama tiga atau empat tahun, dan uang itu biasanya diberikan kepada keluarga penganten pria. Para pekerja perempuan itu tidak boleh meninggalkan areal pabrik dan hidup berdesakkan di rumah-rumah kumuh. Kadang mereka dipukuli atau mengalami pelecehan seksual. Organisasi bantuan anak-anak Terre des Hommes memperkirakan, sekitar 120.000 anak perempuan terjebak dalam sistem ini, dan melaporkan adanya berbagai upaya mereka untuk melarikan diri.
Tidak ada Transparansi bagi Perusahaan Jerman
Banyak perusahaan mode yang berkedudukan di Jerman juga mengimpor produk dari daerah Tamil Nadu, yang menjadi salah satu daerah penghasil tekstil terbesar di dunia. Tetapi tidak jelas, apakah perusahaan-perusahaan itu juga mendapat barang dari pabrik yang melaksanakan Sumangali. Kewajiban mengikat untuk memberikan informasi dalam hal ini tidak ada.
"Ini menjadi kritik paling penting dari kami, bahwa tidak ada transparansi, apakah konsumen dalam hal ini membeli produk hasil jerih payah pekerja yang diperbudak, atau produk yang kebetulan berasal dari daerah itu, tetapi diproduksi dalam situasi kerja normal," kata Volker Beck, juru bicara Partai Hijau di bidang hak asasi manusia. Partainya mengajukan tema itu kepada pemerintah Jerman dalam sidang parlemen, Bundestag. Dalam wawancara dengan Deutsche Welle ia menuntut peraturan yang mengikat secara hukum bagi perusahaan Jerman. "Kami ingin, bahwa perusahaan diharuskan mengungkap, dari mana mereka mendapat produk-produknya."
Lebih banyak transparensi juga dituntut Antje Schneeweiß dari Institut Südwind. Schneeweiß yang baru saja menerbitkan studi soal pelanggaran peraturan kerja di industri tekstil Indonesia menilai bukan konsumen saja yang punya tanggungjawab. Para pemilik saham pada perusahaan mode besar juga bisa menegaskan kepada pihak perusahaan, bahwa mereka hanya akan menanamkan modal pada perusahaan yang menanggapi dengan serius hak asasi manusia dan hak pekerja. Antje Schneeweiß bertukas, "Pengalaman saya menunjukkan, perusahaan memberikan reaksi atas tuntutan yang diutarakan dengan jelas oleh investor."
Rantai Produksi Yang Panjang
Banyak produsen sudah mempublikasikan nama-nama pemasoknya di situs mereka di internet. "Namun itu biasanya hanya pemasok utama, dan kondisi kerja di perusahaan-perusahaan itu kemungkinan masih yang paling baik," kata Antje Schneeweiß. Tetapi tiap pemasok utama biasanya menyalurkan pekerjaan ke perusahaan lain yang lebih kecil.
Perusahaan mode H&M juga merujuk pada rantai produksi yang sangat panjang. Perusahaan itu, seperti banyak lainnya, juga memproduksi barang di India Selatan. Perusahaan raksasa itu menyatakan kepada Deutsche Welle dalam sebuah pernyataan tertulis, "Sumangali banyak ditemukan di perusahaan pemintalan. Jadi sebagian di bidang-bidang, di mana H&M tidak punya peran langsung. Di sini, sudut pandang yang mencakup seluruh industri diperlukan, yaitu yang juga mencakup perusahaan selanjutnya yang mendapat pesanan, juga wakil-wakil pemerintah."
Partai Hijau Tuntut Larangan Impor
Volker Beck dari Partai Hijau terutama menilai, pemerintah Jerman juga memiliki kewajiban, "Jika sebuah barang diproduksi dalam kondisi kerja seperti perbudakan, orang harus dapat membatasi impor barang itu," demikian Beck.
Pemerintah Jerman sendiri menolak bertanggungjawab dalam hal ini. Dalam jawabannya atas pertanyaan dari partai Hijau Oktober lalu, pemerintah Jerman menyatakan, "Dilihat dari segi kewenangan, larangan impor hanya dapat ditetapkan oleh Uni Eropa." Penegakkan standar sosial tidak diatur secara hukum oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Jadi larangan impor akibat pelanggaran sosial, dilihat dari peraturan WTO, tidak diperbolehkan.