Harapan Kerja Sama Ekonomi Berkelanjutan Jerman-Indonesia
29 September 2021Jerman baru saja melangsungkan pemilihan umum parlemen pada Minggu (26/09) yang sejauh ini diungguli Partai Sosial Demokrat (SPD). Seberapa jauh pemilu ini akan memengaruhi hubungan Indonesia dan Jerman sebagai mitra strategis memang masih perlu waktu untuk mengamatinya.
Namun pakar memperkirakan fokus kerja sama setelah pertemuan G20 pada tahun 2022 utamanya akan berfokus pada sektor energi baru dan terbarukan dan sektor maritim.
Dr. Aknolt Kristian Pakpahan, dosen Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan, mengatakan bahwa pertemuan G20 penting untuk diperhatikan karena perubahan iklim dan investasi berkelanjutan atau sustainable investment diprediksi akan menjadi dua isu penting.
"(Setelah pertemuan G20) kedua negara tampaknya akan fokus pada kerja sama energi baru dan terbarukan dan kerja sama di sektor maritim," ujar Aknolt Pakpahan kepada DW Indonesia.
"Jangan dilupakan bahwa semua negara, termasuk kita (Indonesia) dan Jerman, (diharapkan) bisa mencapai tujuan-tujuan di dalam SDGs pada tahun 2030," kata dia.
SDGs atau Sustainable Development Goals juga mendapatkan perhatian khusus dari Dr. Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi di Center for Strategic and International Studies (CSIS). Ia mengatakan bahwa kedua negara perlu memperkuat kerja sama di bidang teknologi, terutama yang mampu mempercepat pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Yose berpendapat bahwa Jerman memiliki posisi strategis untuk mendukung dan memberi pendampingan lebih besar kepada Indonesia dalam menciptakan kebijakan ekonomi yang lebih selaras dengan prinsip-prinsip SDGs.
Bagi Yose, kerja sama dalam bidang kebijakan ekonomi ini lebih penting daripada kerja sama yang bersifat komersial, seperti investasi dan perdagangan. "Investasi dan perdagangan itu memang penting, tapi diplomasi ekonomi itu 'kan lebih luas dari hanya bentuk perdagangan dan investasi," tegas Yose.
Hubungan ekonomi diperkirakan tidak banyak terpengaruh
Yose Rizal Damuri juga berpendapat bahwa pergantian kanselir di Jerman tidak akan menimbulkan perubahan drastis di dalam hubungan ekonomi antara Indonesia dan Jerman. Terlebih lagi, kedua negara sama-sama menganut sistem demokrasi.
Ia menegaskan bahwa hubungan ekonomi dan kebijakan ekonomi adalah dua hal yang berbeda. Hubungan ekonomi ditentukan oleh kelompok swasta. Sementara, kebijakan ekonomi ditentukan oleh pemerintah.
"Hubungan ekonomi seperti perdagangan atau investasi tergantung dari pihak swasta atau bisnisnya, bukan pemerintah. Yang berdagang itu bukan pemerintah. Yang melakukan investasi juga bukan pemerintah," kata Yose kepada DW Indonesia.
"Siapa pun pemerintahnya di Jerman, (hubungan ekonomi antara Jerman dan Indonesia) tidak terlalu banyak berubah. Siapa pun pemerintahnya di Indonesia, hubungan ekonomi juga tidak terlalu banyak berubah," katanya. "Yang kemungkinan akan berubah ialah kebijakan dan diplomasi ekonominya."
Senada dengan Yose, Aknolt Pakpahan memprediksi bahwa setelah pemilu dan perubahan kepala pemerintahan di Jerman, tidak akan ada perubahan besar dalam hubungan ekonomi antara Indonesia dan Jerman. Terlebih lagi, kandidat utama kanselir dari Partai SPD, Olaf Scholz, menjabat sebagai menteri keuangan di dalam kabinet Kanselir Angela Merkel.
"Dalam konteks perdagangan, Indonesia pasti akan tetap melihat Jerman sebagai salah satu negara mitra walaupun Jerman bukan negara mitra dagang yang besar untuk kita. Jerman pun tampaknya akan mempertahankan status quo saja dengan Indonesia. Jika kita melihat sejarah, Indonesia salah satu negara yang punya hubungan ekonomi cukup lama dengan Jerman," kata Aknolt kepada DW Indonesia.
Momentum untuk menarik investor?
Dr. Aknolt dari Universitas Katolik Parahyangan mengapresiasi upaya pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia melalui UU Cipta Kerja. Aturan-aturan terkait investasi memang telah dibenahi, tetapi Aknolt masih mempertanyakan implementasinya dari pusat hingga ke level daerah.
Karena itu, Aknolt mendesak pemerintah untuk menjamin bahwa aturan-aturan yang telah disederhanakan itu betul-betul dijalankan, dan pemerintah juga perlu memastikan bahwa tenaga-tenaga kerja yang kompatibel dan kompeten tersedia di Indonesia.
Selain itu, perbaikan regulasi saja tidak cukup karena pemahaman yang lebih baik tentang karakter investor juga penting. "Investor-investor Jerman itu terkenal memiliki etos kerja yang tinggi," katanya.
Aknolt berharap, pemerintah Indonesia bisa memanfaatkan pergantian kepemimpinan di Jerman semaksimal mungkin sebagai momentum untuk mendatangkan lebih banyak investor Jerman ke Indonesia dan meningkatkan kerja sama bilateral di berbagai sektor, terutama sektor ekonomi.
"Saat ini, semua negara sedang berlomba-lomba mendatangkan investasi dalam konteks upaya recovery (pemulihan) dari pandemi COVID-19. Ini momen yang pas untuk tetap menjalin hubungan yang baik dengan Jerman tanpa melupakan pasar-pasar yang lain," ujarnya.
Nilai perdagangan perlu ditingkatkan
Yose Rizal Damuri dari CSIS juga melihat banyak peluang kerja sama yang kedua negara bisa tingkatkan, terutama kerja sama di bidang teknologi.
"Perekonomian Indonesia dan Uni Eropa itu komplemen satu sama lain, apalagi Indonesia dengan Jerman. Tetapi, ekspor Indonesia ke Jerman masih di bawah US$ 3 miliar, sedangkan impor dari Jerman juga hampir sama, yakni sekitar US$ 3 hingga 4 miliar. Ini masih jauh jika dibandingkan dengan negara-negara lain," kata Yose kepada DW Indonesia.
Nilai investasi Jerman ke Indonesia juga tidak terlalu tinggi, menurut Yose. Dalam lima tahun terakhir, nilai total investasi Jerman ke Indonesia kurang dari US$ 1,5 miliar dalam lima tahun.
Yose berharap bahwa pergantian kanselir di Jerman berdampak pada perbaikan kerja sama ekonomi kedua negara. Namun ia berharap perbaikan tersebut tidak hanya dalam konteks bisnis, tetapi juga perbaikan dalam konteks bagaimana kedua negara memiliki pemahaman yang lebih baik satu sama lain dalam berbagai hal, termasuk pemahaman atas aturan-aturan perdagangan di kedua negara.
"Saat ini ada kesempatan untuk memperbaiki atau meningkatkan kontribusi Indonesia dalam melawan perubahan iklim. Jerman bisa memberikan support yang lebih tinggi lagi kepada Indonesia untuk inisiatif-inisiatif Indonesia dalam melawan perubahan iklim," ujarnya.
Perbaiki akses informasi tentang regulasi ekspor
Menurut Yose, standar regulasi teknis yang ditentukan pemerintah Jerman kepada eksportir asing cukup tinggi, dan standar ini sering kali tidak bisa dipenuhi oleh eksportir dari Indonesia.
Standar yang tinggi tersebut tidak perlu diturunkan, ujarnya. Akan tetapi, Yose berharap, setelah Jerman dipimpin oleh kanselir baru, akses informasi terkait standar itu dapat disediakan dengan lebih baik sehingga informasi tentangnya tidak susah dicari di Indonesia.
"Kalau bisa, Jerman membantu eksportir kita agar mereka bisa mencapai standar yang telah ditetapkan. Kalau perlu, Jerman membantu penyediaan berbagai fasilitas yang bisa jadi tempat pengukuran standar. Untuk memenuhi standar 'kan membutuhkan pengukuran. Masalahnya ialah tempat pengukuran di Indonesia itu susah. Untuk menentukan apakah sudah memenuhi standar atau belum, itu masih sulit di Indonesia," kata Yose. (ae)