Hanya Politik Bisa Selamatkan Timur Tengah?
20 November 2014Eskalasi di Yerusalem mencapai titik tertentu yang harus mendapat perhatian. Konflik antara Israel dan Palestina tidak boleh lagi diperuncing dengan kekerasan. Ini berlaku bagi semua pihak. Serangan terhadap sinagog menambah kekhawatiran bahwa masalah politik dan teritorial tidak akan terselesaikan, jika konflik agama yang kini terjadi menghambatnya.
Pembunuhan di sinagog di Har Nof Yerusalem adalah perbuatan brutal dan tidak jelas arahnya. Kelompok Palestina seperti Hamas mencoba 'menjual' serangan tersebut sebagai perang melawan pendudukan Israel. Ini tidak mungkin! Pembunuhan bukanlah perilaku kemanusiaan, ujar Menteri Luar Negeri AS Kerry dan ia benar.
Seruan serangan balasan dari kedua pihak
Pernyataan yang membenarkan perbuatan tersebut adalah bukti betapa brutal dan tidak manusiawinya konflik di Timur Tengah saat ini. Seruan akan balas dendam dan hukuman kolektif bagi warga Palestina yang dilakukan warga Yahudi Israel haluan kanan adalah bukti berikutnya.
Ini tidak bisa menenangkan situasi sekarang. Politik lah yang memiliki tanggung jawab terbesar atas atmosfir yang memanas. Tapi politik gagal. Kepala pemerintahan Israel Benjamin Netanyahu menyalahkan Presiden Palestina Mahmud Abbas atas serangan tersebut. Menurutnya, Abbas menghujat Israel dan menyerukan hari kemurkaan sehingga merasa mendapat dukungan. Menteri Ekonomi Israel Naftali Benner bahkan menyebut Abbas sebagai salah satu teroris terbesar Palestina. Ini hanya perang kampanye politik dalam negeri untuk mendapat suara kelompok kanan.
Padahal tuduhan ini tidak sesuai dengan masukan dari dinas rahasia Israel. Kepala dinas rahasia Israel Shin Bet mengatakan: Presiden Abbas tidak menyerukan teror. Presiden Palestina mengecam serangan tersebut. Pada pernyataan keduanya, ia menentang secara umum pembunuhan terhadap warga sipil - siapa pun yang melakukannya.
Tapi Abbas juga harus mempertanyakan apakah seruan membela mesjid Al Aqsa dengan segala cara bisa menenangkan situasi. Apakah sang presiden benar-benar khawatir pemerintah garis keras Israel bisa kembali membelah bangunan tersebut? Atau Abbas hanya ingin melihat Netanyahu berlutut di Amman, Yordania?
Netanyahu dan Abbas di bawah tekanan
Pada kedua pihak, sepertinya tekanan politik dalam negeri lah yang menentukan agenda kerja. Netanyahu memutuskan semua hubungan dengan Palestina dan sekutunya. Tidak ada lagi pembicaraan politik yang ingin dimulainya kembali. Padahal Menlu AS John Kerry sangat mengharapkan sebaliknya. Dan presiden Palestina berjuang untuk mengambil alih kendali di Jalur Gaza dari dominasi Hamas. Sebelum kekuatan yang lebih muda dan lebih radikal bisa merebut kekuasaannya.
Pada dasarnya, Israel dan Palestina punya tujuan yang sama: Hidup dalam kondisi aman. Tapi tujuan ini hanya bisa dicapai secara bersama. Apa yang terjadi sekarang menunjukkan hal yang sebaliknya. Hanya politik yang bisa menahan kehancuran berikutnya.