1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikRusia

Hamas di Moskow: Rusia Sebagai Mediator Timur Tengah?

26 Februari 2024

Faksi-faksi Palestina diajak mengesampingkan permusuhan dalam dialog yang difasilitasi Rusia di Moskow. Namun selain ajang pencitraan bagi Rusia, pertemuan itu diragukan akan mampu menjembatani perbedaan.

https://p.dw.com/p/4csoC
Poster Ismail Haniyeh dan Mahmoud Abbas
Poster di Jalur Gaza menunjukkan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh (ki.) dan Presiden Mahmoud Abbas (ka.)Foto: picture-alliance/dpa

Pekan ini, delegasi dari berbagai faksi Palestina kabarnya akan bertolak ke Moskow untuk menghadiri "dialog inter-Palestina," yang mengagendakan perang di Jalur Gaza dan isu lain di Timur Tengah.

Seperti dikutip dari kantor berita Rusia, TASS, Wakil Menteri Luar Negeri Mikhail Bogdanov mengatakan sebanyak antara 12 sampai 14 organisasi Palestina akan mengirimkan delegasi ke pertemuan tiga hari pada tanggal 29 Februari mendatang.

Kelompok yang diundang mencakup sayap politik Hamas dan Jihad Islam Palestina dari Jalur Gaza, serta Fatah yang memerintah Tepi Barat Yordan, ditambah Organisasi Pembebasan Palestina, PLO, yang memayungi sebagian besar faksi, kecuali Hamas.

Faksi-faksi Palestina memiliki posisi berbeda terkait pengakuan atas kedaulatan Israel dalam perundingan kemerdekaan. Jika PLO dan Fatah menyanggupi, Hamas menolak keras, meski belakangan mulai melunak.

Recep Tayyip Erdoğan, Mahmud Abbas dan Ismail Haniyeh
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (tengah), telah pula mengundang Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas (ki.) dan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh (ka.) untuk berdialog di Ankara, Agustus 2023.Foto: ANKA

Perpecahan antarfaksi di Palestina memuncak setelah Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza setelah memenangkan pemilihan umum tahun 2006. Sejak itu, Gaza berada di bawah kendali Hamas, sementara Tepi Barat dikuasai Otoritas Palestina, pemerintahan bentukan Fatah.

Dialog sebagai ajang pencitraan?

Konferensi di Moskow bukan forum pertama yang berusaha menyatukan faksi-faksi Palestina. Menurut Ruslan Suleymanov, pakar Timur Tengah asal Rusia, sudah pernah ada upaya mediasi sebelumnnya, "tapi tidak benar-benar efektif," kata dia.

"Rusia tidak punya peta jalan damai untuk Palestina, terutama untuk Jalur Gaza karena menyaratkan fungsi mediasi dan koneksi yang baik dengan Israel dan sayap paramiliter Hamas di Gaza," imbuhnya kepada DW.

Dia meyakini, konferensi di Moskow diniatkan sebagai ajang pencitraan oleh Rusia, terutama menjelang pemilu kepresidenan pada pertengahan Maret mendatang. "Dialog ini digelar memang cuma untuk berdialog saja," kata Suleymanov lagi.

Pandangan serupa diungkapkan Hugh Lovatt, peneliti senior di Program Timur Tengah dan Afrika di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, ECFR.

"Konferensi di Rusia adalah cara untuk menunjukkan betapa Rusia memiliki kapasitas diplomatik untuk ikut berperan dalam mendorong kesatuan nasional Palestina," kata dia. Namun, perundingan serupa di Moskow, Aljir dan Kairo di masa lalu "juga tidak berhasil memediasikan rekonsiliasi jangka panjang antara rival di Palestina."

Fragmentasi gerakan kemerdekaan Palestina

"Perbedaan antara kelompok-kelompok Palestina mencakup friksi politik yang luas dan berkaitan dengan proses damai serta strategi pembebasan nasional, ditambah pertanyaan teknis seperti bagaimana mengembalikan Otoritas Palestina ke Jalur Gaza," kata Lovatt.

Terlebih, semua skenario damai harus melibatkan kesepakatan antara Otoritas Palestina dan Hamas yang masih dianggap sebagai organisasi teror oleh Jerman, Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Bagi Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh, kerja sama dengan Hamas bukan hal yang mustahil, meski bersyarat. "Sikap kami sudah jelas. Solusi dua negara dengan garis perbatasan tahun 1967 melalui cara-cara damai. Palestina membutuhkan satu payung yang sama," kata dia dalam Konferensi Keamanan München, pekan lalu.

Namun keterlibatan Hamas di masa depan negara Palestina ditolak oleh sejumlah negara, terutama Israel.

Sebaliknya bagi Rusia, bahkan jika pertemuan di Moskow gagal mengakhiri perpecahan, konferensi tersebut sudah membantu mengonsolidasikan peran Rusia untuk ikut menentukan masa depan di Timur Tengah.

rzn/hp

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!