Goyangan Lempeng Tektonik Sebelum Gempa Dahsyat
27 Mei 2020Dalam 100 tahun terakhir, para pakar kebumian mencatat sedikitnya 10 gempa dahsyat yang melanda bumi. Salah satunya gempa bumi dahsyat di laut Tohoku-oki di Jepang pada 2011, tercatat berkekuatan 9,0 Skala Richter yang memicu tsunami dan menghancurkan reaktor nuklir Fukushima. Yang lainnya, gempa laut di Chile pada 2010 dengan kekuatan 8,8 Skala Richter yang memicu tsunami di kawasan yang cukup luas.
Pelajaran ilmiah apa yang bisa ditarik dari dua gempa dahsyat itu? Para peneliti dari pusat penelitian kebumian Jerman, Geoforschungszentrum Potsdam (GFZ) dan rekannya dari Chile dan Amerika Serikat menemukan kesamaan fenomena yang menarik, yang terjadi beberapa bulan sebelum gempa terjadi. Yakni sejumlah gerakan tanah amat aneh berupa maju-mundurnya lempeng tektonik dengan kecepatan sangat lambat. Atau para ahli menyebutnya sebagai “goyangan“ lempeng tektonik.
Para peneliti yang dipimpin pakar geofisika Jonathan Bedford bersama tim pakar geologi, geodesi dan seismologi melakukan evaluasinya dari gerakan stasiun bumi Global Navigation Satellite System (GNSS).
Stasiun bumi ini secara kontinu mengukur jarak pada berbagai satelit GNSS yang mengorbit bumi dalam lintasan eliptik. Setelah jarak ditegaskan dan perkiraan posisi satelit diketahui, para ahli geodesi bisa mendefinisikan gerakan satu titik di bumi, di dalam kerangka referensi terestrial.
Seluruh lempeng tektonik “bergoyang“
Pengukuran ini didukung jejaring stasiun terestrial yang amat padat di Jepang. Bedford dan rekan tim penelitinya menganalisa, bagaimana stasiun terestrial di Jepang dan Chile bergerak dalam kurun waktu lima tahun sebelum diguncang gempa dahsyat itu.
Mereka mencatat, pergerakan lempeng tektonik di mana stasiun berlokasi, bergerak maju dan mundur beberapa kali, di Jepang dalam waktu lima bulan sebelum gempa dan di Chile dalam kurun waktu tujuh bulan sebelum gempa. Para peneliti mempublikasikan hasil risetnya dalam jurnal ilmiah Nature.
Kedua lokasi pertemuan lempeng tektonik adalah zona subduksi, dimana satu lempeng menyusup di bawah lempeng lainnya. Dalam kedua penelitian, diketahui lempeng samudra menyusup ke bawah lempeng benua di kawasan palung laut.
Dalam kondisi normal, lempeng benua biasanya ditekan oleh lempeng samudra dan dengan begitu ditekan menjauhi palung. Akan tetapi para pakar geofisika kini menemukan gerakan itu mula-mula berbalik arah, mendekati palung lalu kemudian menjauh lagi. Demikian berulang kali, sehingga seperti “goyangan“ lempeng tektonik.
Gerakan serupa sepanjang ribuan kilometer
Amplitudo gerakan itu, menurut para peneliti tidak besar, hanya sekitar 4 hingga 8 milimeter. Namun Bedford merujuk, bahwa amplitudo ini relevan, mengingat pergerakan lempeng tektonik juga hanya beberapa sentimeter per tahunnya. Lebih jauh lagi, kontraksi ruang dari sinyal menyebar ribuan kilometer di sepanjang perbatasan lempeng.
“Ada asumsi umum bawah proses di bagian terdalam subduksi berlangsung dalam kecepatan konstan di antara gempa bumi hebat“, ujar ilmuwan dari GFZ itu menjelaskan. “Namun penelitian kami menunjukkan, bahwa asumsi ini merupakan penyederhanaan berlebihan. Faktanya, variabilitas bisa saja menjadi faktor kunci untuk memahami bagaimana terjadinya gempa paling dahsyat“, tambah Bedford.
Dengan pelacakan satelit global yang makin bagus, dan data akurat yang tersedia setelah beberapa dekade, para peneliti gempa bumi punya kemampuan lebih bagus lagi untuk melakukan observasi. “Dalam tahapan berikutnya, kami mungkin bisa memonitor perubahan dalam waktu hampir real time“, ujar pakar geofisika Bedford menambahkan.
Tidak bisa digunakan sebagai sistem peringatan dini
Walau begitu, sejauh ini para pakar kegempaan tetap belum bisa meramalkan kapan dan di mana gempa dahsyat akan terjadi.
Dengan membuat perhitungan magnitudo gempa dahsyat terakhir di sebuah kawasan dan mengetahui kecepatan relatif gerakan lempeng tektonik, para ahli hanya bisa memperkiraan, kapan sebuah sesar atau patahan akan cukup matang untuk mengulang peristiwa gempa. Namun juga ada ketidakpastian besar dalam pendekatan semacam ini.
Penyebabnya, sebuah sesar bisa saja memicu gempa berskala di atas 8 SR hanya dalam kawasan kecil. Tapi di lain waktu, tiba-tiba memicu gempa dahsyat dalam kawasan cukup luas.
Jadi apakah monitoring gerakan lempeng tektonik yang tidak lazim seperti kasus gempa Jepang dan gempa Chile bisa memberikan peringatan dini lebih baik, terkait akan terjadinya gempa dahsyat? Jawabanya, tidak.
“Sinyal yang diamati dalam riset ini, tidak selalu menjadi petunjuk adanya gerakan sebuah gempa besar“, papar Bedford. Dan masih diperlukan banyak penelitian lanjutan. Pakar geofisika ini juga mewanti-wanti, pada prinsipnya, orang yang bermukim di kawasan gempa bumi hebat, tetap harus waspada.
(as/gtp )