Sosok Cawapres Ma'ruf Amin di Mata Pegiat HAM
10 Agustus 2018Hingga Juli silam Direktur Lokataru, Haris Azhar masih mengkampanyekan untuk tidak memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden jika tidak menjawab permasalahan rakyat. Usai penetapan dua pasangan calon, terutama pilihan KH. Ma'ruf Amin oleh Presiden Joko Widodo dan Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo Subianto, apakah pegiat HAM itu mengubah pikirannya?
"Masih sama. Malah semakin terbukti kan?" jawabnya saat dihubungi DW. "Dari perspektif HAM, semua calon adalah pelanggar Hak Azasi Manusia. Jadi menurut saya keempat calon itu sama, tidak ramah pada HAM, tidak ramah pada lingkungan."
Haris tidak menganjurkan pemilih jadi golongan putih. Dia sebaliknya mengkampanyekan #CoblosSamping yang mendorong pemilih menihilkan suara sendiri dengan tidak mencoblos kotak berisi gambar paslon yang menjadi syarat berlakunya surat suara. Menurutnya kampanye #CoblosSamping penting untuk menyuarakan penolakan terhadap politik identitas.
"Yang penting adalah menunjukkan kepada mereka suara-suara yang menolak." Ketika ditanya apakah kelompok masyarakat yang menolak dua paslon tersebut akan mampu membangun kekuatan pengimbang, Haris menjawab dirinya "cukup optimis bahwa #CoblosSamping atau golput akan tinggi."
Golput diramal akan naik
Sikap Haris sedikit banyak mewakili kelompok yang kecewa terhadap pilihan Presiden Joko Widodo. Hal serupa disampaikan pegiat HAM dari Human Rights Watch, Andreas Harsono. "Saya kira (Golput) akan naik lagi karena para pemilih, terutama yang berpendidikan, tidak puas dengan sosok Sandiaga Uno atau Ma'ruf Amin. Saya kira kemungkinan Golput akan membesar."
Andreas mengatakan kepada DW KH. Ma'ruf Amin punya "reputasi panjang dalam pelanggaran Hak Azasi Manusia." Dia termasuk figur yang paling vokal menyuarakan kriminalisasi kaum minoritas agama dan seksual dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP).
"LGBT itu kan memang haram. Jadi memang sudah seharusnya itu masuk ke delik pidana," tutur KH. Ma'ruf saat diwawancara harian konservatif, Rakyat Merdeka, Januari 2018 silam. Ia bahkan menyuarakan terapi reparatif untuk 'menyembuhkan' kaum LGBT. "Mereka ini masih harus dibina lagi, jangan dibiarkan begitu saja. Mereka harus diberikan tuntunan. Jangan sampai mereka melakukan lagi berulang-ulang kegiatan LGBT-nya itu. "
KH. Ma'ruf juga punya pandangan serupa terkait kelompok Syiah, Ahmadiyah atau terkait kewajiban umat Muslim memilih pemimpin seagama yang memperkuat politik identitas pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam. Fatwa-fatwa yang dibidani Ma'ruf, menurut Andreas, turut melahirkan tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Tunggu program kerja
Tidak heran jika sejumlah pegiat HAM yang sebelumnya cendrung mendukung pemerintahan Joko Widodo kini dibuat meradang. "Rekam jejak Kyai Ma'ruf dalam beberapa isu memang terkadang bersebrangan, seperti misalnya dalam hal minoritas agama atau minoritas seksual," imbuh Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat.
Namun dia menilai terlalu dini untuk menentukan golput. "Memang dalam tatanan figur kita kecewa," ujarnya kepada DW. Tapi masyarakat masih harus menunggu program kerja dan figur dalam kabinet bayangan yang akan diusung kedua paslon.
Ricky juga menegaskan tantangan bagi pegiat HAM tidak berubah dengan kehadiran sosok Ma'ruf Amin atau Sandiaga Uno di Pilpres 2019. "Masyarakat sipil yang bergerak di bidang perlindungan HAM punya tanggungjawab yang sangat berat untuk mengawal siapapun yang terpilih," ujarnya kepada DW. "Adalah hal yang mengkhawatirkan jika di lima tahun kedepan narasi pemerintahan kita didominasi oleh konservatisme, karena nanti di 2024 kita akan sulit memutarbalik tren politiknya", tandas Ricky.
Menurutnya, jika Jokowi berhasil mengamankan masa jabatan kedua, KH. Ma'ruf Amin bisa ditugaskan memimpin "rekonsiliasi sosial politik" untuk menyembuhkan "luka lama" yang hingga kini masih tersisa dari Pilkada DKI Jakarta dan Pemilu Presiden 2014.
rzn/as