Goenawan Mohamad Tentang Esai dan Puisi
5 Oktober 2015
"Sastra, serupa jurnalisme, tidak boleh digunakan sebagai kendaraan kekuasaan," kata Goenawan Mohamad suatu hari. "Isu ini sudah diperkarakan mungkin sejak era Socrates di semua negara di seluruh dunia."
Tahun 1971, Goenawan Mohamad ikut mendirikan majalah Tempo. Cita-citanya saat itu adalah mewujudkan jurnalisme yang independen, termasuk bersikap kritis terhadap pemerintah yang kala itu berada di bawah cengkraman Suharto.
Hasilnya Tempo mendapat tekanan dari pemerintah dan akhirnya dibredel dua kali, tahun 1982 dan 1994. Awalnya Tempo dipaksa meminta maaf kepada publik. Kali kedua GM dan semua kru memilih bergriliya dari bawah tanah.
Pergulatan di era Orde Baru menegaskan komitmen Tempo dalam mengemban prinsip kebebasan pers yang lama diberangus oleh Suharto. Sejak kejatuhan sang diktatur, Tempo kembali hadir dengan edisi cetak.
Untuk kiprahnya itu Goenawan Mohamad menerima penghargaan Louis Lyon dari Yayasan Nieman. Begitu pula dengan CPJ International Press Freedom Award (1998), International Editor of the Year Award dari World Press Review (1999), serta Dan David Prize Award (2006).
Selama lebih dari 30 tahun, sosok pengusung Manifesto Kebudayaan itu secara rutin menuliskan pemikirannya dalam bentuk esai di majalah Tempo. Hingga kini Catatan Pinggir mencakup 10 buku dengan masing-masing 400 halaman.
GM memiliki kecintaan pribadi terhadap esai. Menurutnya, esai "tidak cuma mengungkapkan apa yang abstrak, melainkan juga yang kongkrit, " ujarnya dalam wawancara.
"Esai banyak memakai metafora, atau deskripsi dan bisa sangat puitis. Karena dengan sifatnya yang puitis banyak hal tak terduga bisa muncul." Namun begitu, buatnya menulis catatan pinggir bisa menjadi sebuah pergulatan yang melelahkan, "kadang saya berpikir kenapa saya melakukannya berulang-ulang," ujarnya.
Simak wawancara lengkapnya lewat tautan video di atas