Genosida Armenia 1915: Iblis dari Masa Lalu
Sekitar satu juta penduduk Armenia menemui ajal di tengah Perang Dunia I. Eropa menuding Turki melakukan genosida buat meredam pemberontakan, sementara Ankara menyebut tragedi tersebut sebagai deportasi
Bertikai Demi Sejarah
Konflik seputar pembantaian Armenia oleh Kesultanan Usmaniyah adalah pertikaian memperebutkan hak buat menulis sejarah. Turki menolak istilah genosida. Sementara Eropa, Armenia dan sebagian negara bagian di Amerika Serikat menggunakan kata tersebut buat menggambarkan tragedi 100 tahun lalu. Selama pertikaian ini belum tuntas, maka tidak ada kejelasan buat keluarga korban.
Korban Perang
Turki selama ini berdalih "deportasi" yang melumat nyawa jutaan warga Armenia itu adalah langkah yang diperlukan demi memenangkan perang. Saat itu minoritas Armenia di Kesultanan Usmaniyah lebih mendukung Rusia. Sebagian dikabarkan dipersenjatai dan memberontak terhadap Istanbul. Menurut berbagai sumber eskalasi konflik berujung pada pembantaian dan pemerkosaan masal.
Berdalih Tanpa Henti
Turki berupaya mencari pembenaran atas pembantaian pada April 1915 dengan menekankan "pengkhianatan" yang dilakukan sebagian warga Armenia. Uniknya, bapak pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Attaturk, mengecam pembantaian tersebut sebagai "aib" bagi bangsa Turki.
Titah Sang Menteri
Genosida di Turki berawal dari perintah Mehmet Talaat, Menteri Dalam Negeri Kesultanan Usmaniyah. Catatan sejarah Barat melaporkan, pada 27 Mai 1915 Talaat memerintahkan semua warga Armenia yang berada di wilayah perang agar dideportasi ke Suriah dan Mosul. Pengusiran besar-besaran ini dilakukan lima hari kemudian, diselingi dengan pembantaian dan pemerkosaan masal.
Kehilangan Harta Benda
Pengusiran masal terhadap minoritas Armenia juga menyisakan kerugian ekonomi. Harta dan tanah disita oleh kesultanan. Berbeda dengan kasus Holocaust pada Perang Dunia II, hingga kini pemerintah Turki bersikeras menolak membayar kerugian terhadap keluarga korban yang kehilangan harta bendanya.
Dukungan dari Jerman
Menurut Duta Besar Jerman Hans von Wangenheim pada masa itu, Turki memanfaatkan dalih perang untuk "mengeliminasi musuh Kristen di dalam negeri." Jerman yang bersekutu dengan Turki mendukung genosida terhadap warga Armenia, karena "juga menjadi kepentingan Jerman, demi memperkuat sekutu kita, Turki," tulisnya. Tampak dalam gambar kaisar Wilhelm II di Kontantinopel pada deklarasi Perang Dunia I.
Pengakuan dari Dalam
Belakangan semakin banyak warga Turki yang mengakui pembantaian Armenia. Pemenang hadiah nobel sastra, Orhan Parmuk, adalah salah satunya. Namun akitivis, jurnalis dan sastrawan yang terlibat dalam gerakan kecil tersebut harus berhadapan dengan amarah kelompok ultra nasionalis.