Ketika Ganja Legal Makin Langka di Masa Pandemi Corona
6 Mei 2020Menurut para pengamat dari analis industri ganja Headset, penjualan ganja di Amerika Serikat pada pertengahan Maret melonjak drastis dengan pertumbuhan penjualan mencapai 64 persen, tingkat pertumbuhan tertinggi sejak awal 2019. Lonjakan drastis itu terutama disebabkan karena banyak orang khawatir, apotik-apotik yang menjual ganja akan ditutup karena kebijakan lockdown.
Bulan April lalu, beberapa negara bagian AS bahkan mendeklarasikan ganja sebagai "barang kebutuhan pokok" seperti halnya makanan. Kebijakan ini memungkinkan apotik-apotik menawarkan penjualan ganja secara online.
Pendiri biro konsultan Prohibition Partners Stephen Murphy mengatakan, kebijakan negara-negara bagian AS untuk menjamin penjualan ganja selama pandemi corona menunjukkan bahwa industri ganja “sudah mulai berakar” di perekonomian AS. Prohibition Partners adalah konsultan bisnis dan penyedia data terkemuka di industri ganja global, dengan kantor cabang di London, Barcelona dan Dublin.
Bagaimanapun, pandemi corona membuat banyak investor jadi lebih berhati-hati, kata Stephen Murphy kepada DW. Akibatnya, dukungan kepada startup ganja makin berkurang dan makin lambat. "Industri ini masih cukup baru dan membutuhkan banyak dana untuk kerja lobi, peralatan dan personil. Kami melihat banyak perusahaan yang sekarang berjuang untuk mempertahankan likuiditas," katanya.
Pandemi Corona pemicu kepunahan
Ketika legalisasi ganja makin meluas dan permintaan ganja rekreasi maupun ganja medis terus naik, banyak investor yang mencoba keberuntungan di bisnis baru ini. Namun sekarang di tengah krisis corona, beberapa perusahaan ganja terancam kehabisan dana karena mereka sulit mendapat kredit baru. Dalam beberapa bulan ke depan, pasar modal juga diperkirakan masih akan memandang lesu pada prospek industri ganja.
Awal April lalu, harian bisnis "Marijuana Business Daily“ mengeluarkan analisis atas 33 perusahaan ganja terkait arus kas operasi mereka, kas di tangan, fasilitas kredit yang belum digunakan dan utang atau ekuitas baru. Setelah mengurangi pengeluaran modal dan utang perusahaan yang jatuh tempo pada tahun 2020, harian itu memprediksikan bahwa delapan perusahaan akan bangkrut dalam 10 bulan ke depan.
Laporan itu menyimpulkan, pandemi corona menjadi "peristiwa berdampak kepunahan bagi beberapa perusahaan." Terutama performa perusahaan-perusahaan perintis di Kanada, yang tahun 2018 berebut mendapatkan lisensi, ternyata mengecewakan investor. Perusahaan-perusahaan itu selanjutnya gagal menarik lebih banyak investasi.
Indeks saham ganja versi Bloomberg, The Bloomberg Intelligence Global Cannabis Competitive Peers Index, antara pertengahan Februari dan pertengahan Maret lalu sempat anjlok lebih dari 50%, dan mencatat rekor terendah baru. Dibandingkan perdagangan setahun yang lalu, indeks saham itu bahkan telah kehilangan dua pertiga nilainya.
Pasar ganja di Jerman baru menggeliat
Di Jerman, konsumsi ganja untuk tujuan rekreasi masih dilarang. Tetapi penggunaan ganja untuk kepentingan medis, misalnya untuk mengobati penyakit, sudah diijinkan sejak 2017.
Kendala besar bisnis ganja di Jerman: asuransi kesehatan publik masih enggan membayar biaya perawatan dengan ganja. Padahal otoritas obat-obatan Jerman BfArM menyatakan, omset perawatan berbasis ganja cukup stabil. Total penjualan tahun 2019 tumbuh menjadi € 120 juta euro, dengan lebih dari 50 petani ganja telah memenangkan tender untuk memasok 10.400 kilogram ganja selama empat tahun ke depan.
Sejak Jerman melegalkan ganja medis tiga tahun lalu, kebutuhan pasar harus dipenuhi dengan impor dari Belanda dan Kanada. Jadi sebenarnya ada masih peluang di bisnis ganja. Namun Stephen Murphy mengatakan, kebijakan lockdown di Jerman dan Eropa menyulitkan rantai pemasokan, sehingga ganja untuk kepentingan medis dan pengobatan menjadi barang langka di pasaran. hp/yf