Alice Schwarzer: Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Terjadi
8 Maret 2019Alice Schwarzer, 77, adalah legenda gerakan feminisme di Jerman. Pendiri majalah "Emma" itu termasuk yang membidani kelahiran gerakan perempuan beberapa dekade silam. Gayanya acap dianggap kontroversial. Pembelaannya pada hak perempuan muslim mengundang permusuhan dari kelompok konservatif Islam. Kepada jurnalis perempuan berlatar Afghanistan, Nadia Fasel, Alice menjelaskan kenapa pentolan feminis Jerman itu kini mengadvokasi perempuan di negara-negara konservatif seperti Afghanistan.
DW: Tahun ini kita memperingati 100 tahun hak memilih bagi perempuan di Jerman. Dan jika menyimak catatan sejarah dari awal 1970-an hingga kini, Anda, Alice Schwarzer, juga banyak memperjuangkan hak-hak perempuan. Dalam retrospeksi, sekarang di tahun 2019, apakah Anda pikir tujuan yang Anda tetapkan sendiri telah tercapai?
Alice Schwarzer: Sebagaimana yang kita ketahui dari hasil penelitian, sistem patriarki setidaknya sudah berusia sekitar 4.000 tahun, jadi 40 tahun perjuangan demi emansipasi dan kesetaraan gender tidak tergolong banyak. Tetapi dalam rentang hidup seorang manusia, tentu saja, apa yang telah kita capai dalam perjuangan hak perempuan, bisa dikatakan banyak tak terkira.
Kita mengalami kemajuan dramatis. Tidak hanya di Jerman saat ini, tetapi hampir di seluruh negara di dunia Barat, berlaku kesetaraan hukum antara laki-laki dan perempuan, perempuan memiliki akses tanpa batas di bidang pendidikan, kita memiliki akses penuh ke semua profesi, secara teoritis. Dan, seperti yang Anda tahu, Jerman memiliki Kanselir perempuan selama 13 tahun.
Saat ini tumbuh sikap antipati masyarakat terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, walaupun hal itu masih saja terjadi. Kekerasan memang selalu menjadi inti setiap kekuasaan, tapi dikecam. Pada saat yang bersamaan, muncul masalah baru. Pornografi membanjiri internet. Perang memperebutkan tubuh perempuan pun kembali terjadi. Adalah hal yang memuakkan, bahwa di negara negara yang berpedoman Islam puritan perempuan harus menutup diri, sementara di sini mereka diharapkan berpakaian minim. Keduanya bukan solusi.
Namun kondisi di sini tentu saja lebih surgawi buat kaum hawa dibandingkan dengan negara dan wilayah tempat mereka berasal.
DW: Anda dulu pernah mewanti-wanti terhadap perkembangan situasi ini, yang sekarang terjadi di sana. Apa kekhawatiran Anda saat itu?
Alice Schwarzer: Sebagai penulis dan juga pendiri majalah "Emma", sejak hampir 40 tahun saya berusaha mengadvokasi para perempuan di negara-negara ini. Dan kami saling berhubungan dan bertukar kabar. Tapi saya sangat putus asa ketika saya melihat situasinya. Di Iran, kekerasan terus terjadi. Dan di Afghanistan, saya tidak mengerti kenapa Amerika Serikat pergi berperang ke sana, untuk lalu bernegosiasi dengan Taliban. Jadi adalah sebuah cemoohan jika orang menyebutnya perundingan damai. Apa yang sedang dinegosiasikan di sana bukanlah perdamaian bagi perempuan, tetapi neraka. Saya rasa, dunia Barat perlu memposisikan dirinya dengan cara yang berbeda. Saya beri contoh: beberapa dekade yang lalu, seluruh dunia Barat memboikot Afrika Selatan karena persoalan rasisme. Karena orang yang tidak berkulit putih diperlakukan seperti binatang dan bahkan lebih buruk dari itu. Lalu mereka berkata, kita boikot Afrika Selatan hingga situasinya berubah. Dan boikot internasional ini, terutama boikot ekonomi, berhasil mencapai banyak hal. Mengapa kini kita tidak boikot saja negara-negara yang memperlakukan perempuan seperti hewan?
DW: Setelah 17 tahun, situasi di Afghanistan, --yang pembangunan dan pengembangannya didukung upaya besar-besaran oleh negara-negara Barat -- , korban dari kerugian akibat perang dan kekerasan cukup besar. Namun yang dilaporkan di bidang sosial, selalu hanya hal-hal yang berhasil. Di sisi lain, perkembangan hal negatif dan pelecehan, terutama menyangkut hak-hak perempuan dan anak perempuan, hampir tidak disebutkan - bahkan oleh media di sini. Mengapa demikian?
Alice Schwarzer: Ya, saya pikir ini adalah kepentingan geopolitik dan ekonomi yang sinis. Bisnis sedang dilakukan dengan negara-negara itu dan perang tengah dihidupkan kembali. Jadi, orang-orang mengorbankan kepentingan ekonomi dan geopolitik hak asasi perempuan, kritikus, dan intelektual.
DW: Kembali ke Jerman. Di sini, di Jerman, terdapat jutaan perempuan Muslim yang semakin menutup diri atau mengenakan jilbab.
Alice Schwarzer: Sebuah survei besar yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri Jerman menunjukkan bahwa tiga perempat perempuan berlatar belakang Muslim di sini tidak mengenakan jilbab. Dan separuh Muslimah, yang menyebut dirinya "sangat religius," tidak mengenakan jilbab.
Sangat mengejutkan bahwa banyak intelektual, dan terutama kaum kiri di negara-negara Barat kita, menyebut pertautan dengan kaum Islamis, yang reaksioner, sebagai toleransi hanya supaya tidak dianggap kanan.
Saya ini termasuk kaum minoritas yang telah mengkritik situasi itu selama beberapa dekade, dan apa jawabannya? Lingkaran-lingkaran ini memanggil saya "rasis" dan "islamofobia". Sebaliknya, menurut saya, adalah rasis untuk mengabaikan kaum mayoritas yang tercerahkan di negara-negara Islam. Dan tidak ingin melihat bahwa jilbab telah lama kehilangan 'kepolosannya'. Di negara-negara seperti Afghanistan atau Iran, jilbab malah dipaksakan. Jadi merupakan sebuah solidaritas kepada kaum yang dipaksakan berjilbab, jika kaum perempuan Muslim di sini melepaskannya, bukan sebaliknya.
DW: Buku baru Anda "Meine algerische Familie (Keluarga Aljazair saya-Red)". Dalam buku itu, Anda menggambarkan sebuah keluarga yang sebagiannya religius dan sebagian lain tidak. Apa motivasi Anda memilih topik seperti itu pada saat ini?
Alice Schwarzer: Saya justru ingin menunjukkan bahwa tidak semua perempuan Muslim mengenakan jilbab, bahwa tidak semua pria Muslim adalah teroris dan gemar menyerang perempuan, bahwa mereka sebenarnya tetangga kita, orang-orang biasa seperti kita. Tapi tentu saja mereka sendiri diancam oleh kaum Islamis seperti di Aljazair. Karena korban pertama kaum fanatik agama ini bukanlah kita, orang Barat, tetapi orang Muslim sendiri.
Saya ingin menunjukkan bahwa negara seperti itu, sama seperti Afghanistan, terbelah - antara tradisi dan kemajuan. Kedua negara, Aljazair dan Afghanistan, menyandang sistem patriarki tradisional, dan masih menuangkan minyak pada api lewat pidato kebencian. Itu gabungan hal yang mengerikan, sangat eksplosif. Saya percaya bahwa kita perlu belajar untuk bergabung dengan yang kaum yang tercerahkan dan kaum demokrat di negara-negara ini.
DW: Di antara jutaan Muslim di sini di negara ini, ada banyak sekali orang yang juga sangat menderita akibat radikalisasi, terutama para ibu, yang harus mengalami bagaimana anak-anak mereka dikungkungi oleh fanatisme agama. Apakah kebijakan pemerintah di sini cukup membantu atau bersumbangsih?
Alice Schwarzer: Tidak. Politik telah mengecewakan mereka. Pertama, pemangku kebijakan membuat kesalahan dengan menganggap para pendatang baru ini secara kultural sebagai "orang lain". Jadi pemerintah menetapkan dua standar, atas nama tradisi dan agama lain. Toleransi yang salah. Hak asasi manusia, aturan hukum dan kesetaraan jender berlaku untuk semua orang, terlepas dari latar belakang budaya dan agama mereka.
Sejak awal tahun 90an kita di semua negara barat, dan saya juga berbicara tentang Jerman, mengalami agitasi Islam yang sangat kuat. Fenomena ini disponsori oleh Arab Saudi, Turki dan Iran. Mereka mengirimkan imam, mengirmkan pengkhotbah kebencian. Dan para agitator Islam ini masuk ke berbagai komunitas. Mereka menghasut pria-pria dengan propaganda mereka. Dan kami orang Jerman tidak menentang propaganda ini. Kami tidak menguliahi dengan mengatakan: ‘Kalian hidup dalam alam demokrasi yang juga memberi kalian kesempatan, jadi seharusnya kalian bisa belajar. Anda harus menjadi bagian dari Jerman, Anda harus belajar bahasa Jerman, Anda dapat mencari pekerjaan, Anda dapat memenuhi syarat-syarat untuk tinggal di sini.‘
Kita tidak bilang pada para anak perempuan, "Kalian bisa bebas seperti teman-teman Jerman kalian, kami akan urus itu, kami akan membantu Anda. Dan jika dicegah untuk hal itu, kami akan melindungi Anda‘. Kita telah gagal untuk melakukan semua ini.
Sementara itu, kita tidak hanya memiliki masyarakat paralel, seperti yang ditulis oleh rekan Jerman-Turki baru-baru ini di "Emma", kita memiliki counter-society, dengan kebiasaan-kebiasaan lain dan hukum lainnya berlaku. Dan mereka menyerang kita.
DW: Seperti yang Anda tahu, saya sendiri berasal dari Afghanistan dan telah tinggal di sini selama lebih dari 35 tahun. Di masa kecil dan masa muda saya, saya mengalami hidup yang sangat berbeda. Hak-hak perempuan tidak dibicarakan pada saat itu, tetapi perempuan, setidaknya di kota-kota, dapat bersekolah dan tentu saja lulus. Jilbab bukanlah paksaan, pakaian modis dan berwarna-warni untuk rok mini cukup umum di jalanan. Khususnya pada generasi saya, kepercayaan diri yang kuat berkembang sebagai seorang wanita. Namun dalam hampir 40 tahun mengalami perang, perempuan kehilangan hak-hak mereka. 8 Maret adalah "Hari Perempuan Sedunia" - oleh karena itu pertanyaan dan permintaan saya kepada Anda: Apa yang bisa, harus dilakukan oleh para wanita di Afghanistan untuk mencapai kesuksesan bagi diri mereka sendiri? Dan bagaimana Anda bisa menginspirasi ini sebagai contoh yang cemerlang?
Alice Schwarzer: Saya akan lancang mengatakan apa yang harus dilakukan wanita di Afghanistan sekarang, termasuk soal apa yang bisa mereka lakukan.
Saya pun memulai perjuangan hak perempuan pada awalnya bukan untuk mendapat pujian. Dan saat ini banyak yang memusuhi saya. Tapi mereka tidak mengatakan: itu salah, apa yang dikatakan Alice Schwarzer. Mereka tidak berdebat, mereka mencemarkan nama baik. Saya tahu banyak yang tak sepakat dengan saya, tetapi saya tidak tahu apakah hidup saya dalam bahaya karena saya menuntut hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan adalah masalah di negara Anda. Tentu saja, kami di dunia Barat, akan benar-benar memiliki kewajiban untuk melakukan sesuatu. Saya melakukannya untuk saya! Saya seorang jurnalis, saya membuat koran - kami di sini melakukan itu! Para wanita di negara-negara yang didominasi Islam dapat menghubungi kami kapan saja - kami melaporkan situasi Anda dan mencoba untuk membantu. Kalau tidak, saya hanya bisa mengatakan, saya harap para perempuan Afghanistan tidak kehilangan keberanian mereka. Saya berharap itu, dan saya akan sangat bahagia, jika itu terjadi.
Interview dilakukan oleh Nadia Fasel (DW).