Fatah Dan Hamas Awali Rekonsiliasi Demi Persatuan Palestina
4 September 2020Kedua faksi Palestina mendemonstrasikan kesatuan untuk menolak normalisasi hubungan diplomasi antara Israel dan Uni Emirat Arab. “Kami tidak bisa menerima orang lain berbicara atas nama kami. Kami tidak akan mengizinkannya, selamanya,” kata Presiden Mahmud Abbas dalam pertemuan virtual dengan pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, Kamis (3/9).
Untuk pertama kalinya sejak 2013, pemimpin kedua faksi Palestina, Hamas dan Fatah, bertemu dan bersepakat. Abbas berada di Ramallah, Tepi Barat Yordan, sementara Haniyeh mengudara dari gedung kedutaan besar Palestina di Beirut, Lebanon.
“Kami tidak akan menerima Amerika Serikat sebagai mediator tunggal untuk negosiasi dengan Israel. Dan kami tidak akan menerima rencana (Donald Trump),” untuk perdamaian, kata Abbas yang menyerukan persatuan Palestina dalam menghadapi strategi Washington.
Sementara penguasa Jalur Gaza, Haniyeh, juga mengatakan hal serupa. “Kita harus memulihkan kesatuan nasional, mengakhiri perpecahan dan membentuk satu posisi bersama untuk Palestina, demi menghadapi proyek yang diarahkan untuk melawan rakyat kita,” kata dia.
Di bawah peta jalan damai yang diusulkan pemerintahan Trump, Israel berhak menguasai Yerusalem sebagai “ibu kota kesatuan” dan menganeksasi sejumlah wilayah penting di Tepi Barat, termasuk Lembah Yordan yang memisahkan Palestina dan jiran Arabnya.
Rencana itu dibatalkan ketika Presiden Trump mengumumkan normalisasi hubungan diplomasi antara Israel dan Uni Emirat Arab, 13 Agustus silam. Di bawah Perjanjian Ibrahim, Israel sepakat menunda aneksasi Tepi Barat, meski bukan untuk waktu yang tidak terbatas.
Komitmen Arab pada Palestina
Uni Emirat Arab menjadi negara Arab ketiga yang sepakat menjalin hubungan dengan Israel. Sebelumnya Mesir menyepakati perjanjian damai dengan Israel pada tahun 1979, disusul Yordania pada 1994.
Minggu (30/8) silam Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan “ada banyak pertemuan-pertemuan rahasia dengan pemimpin Arab dan negara muslim untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.
Baru-baru ini Menlu AS, Mike Pompeo, juga berkeiling jazirah Arab hingga ke Afrika untuk mempromosikan hubungan diplomasi dengan negeri Yahudi tersebut. Namun perjalanannya urung membuahkan hasil, menyusul penolakan Arab Saudi, Bahrain dan Sudan. Meski begitu ketiga negara menyambut positif normalisasi UAE dan Israel.
Palestina sendiri mengecam langkah UAE sebagai sebuah “penkhianatan” terhadap Insiatif Damai Arab. Kesepakatan yang digalang Arab Saudi pada 2002 itu menyaratkan pembentukan negara Palestina, pemulangan pengungsi 1967 dan pemulihan wilayah teritorial Palestina, sebagai satu-satunya jalan untuk berdamai dengan Israel.
Pertemuan antara Abbas dan Haniyeh merupakan upaya teranyar Palestina untuk mendamaikan kedua faksi. Baik Hamas atau Fatah “ingin membuka halaman baru untuk mengakhiri perpecahan, mencapai rekonsiliasi nasional dan membangun kemitraan nasional antara semua faksi,” kata Ahmad Majdalani, anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Adapun perwakilan Palestina di Lebanon mengaku pertemuan diselenggarakan di Beirut, karena sebagian besar pejabat dan fungsionaris Hamas atau Fatah bermukim di Lebanon, Suriah atau Ramallah.
Lebanon pernah menjadi pusat pemerintahan Palestina di masa-masa awal perjuangan PLO melawan pendudukan Israel. Negeri yang sedang babak belur oleh krisis ekonomi itu juga menampung salah satu populasi terbesar pengungsi Palestina di dunia.
rzn/hp (afp, ap, rtr)