Etnis Mongol di Cina Menolak Kewajiban Berbahasa Mandarin
2 September 2020Perubahan dadakan pada kurikulum pendidikan untuk Daerah Otonomi Mongolia Dalam mewajibkan sekolah memberikan pelajaran dalam bahasa Mandarin, bukan lagi bahasa Mongol. Langkah serupa juga diterapkan pemerintah Cina di Tibet dan Xinjiang. Kebijakan tersebut dikritik sebagai upaya asimilasi etnis minoritas ke dalam budaya mayoritas Han.
“Hampir semua warga Mongol di Mongolia Dalam menolak perubahan kurikulum ini,” kata Hu, seorang penggembala berusia 32 tahun dari area Liga Xilingol. Dia memperingatkan generasi muda Mongol bisa melupakan bahasa ibunya.
“Dalam beberapa dekade ke depan, bahasa kaum minoritas akan berada di ambang kepunahan.”
Ketegangan menyapu kawasan sabana di tepi perbatasan Mongolia dan Rusia itu, sejak perubahan kurikulum Biro Pendidikan Mongolia Dalam, Rabu (26/8) pekan lalu.
Akibatnya aksi protes massal oleh orangtua murid, mahasiswa dan warga berkecamuk di setiap penjuru provinsi. Sementara puluhan ribu murid sekolah memboikot kelas dan menolak datang ke sekolah.
Dalam beberapa video yang berbeda, sejumlah murid berseragam terdengar berteriak dalam bahasa Mongol, “Saya bersumpah sampai mati akan selalu mempelajari bahasa ibu saya.”
“Setidaknya ada puluhan ribu penduduk yang berdemonstrasi di Mongolia Dalam,” kata seorang penggembala di Liha Hinggan yang menolak menyebutkan nama lantaran mengkhawatirkan persekusi aparat keamanan.
Pada Selasa (1/9), sejumlah sekolah bilingual di kawasan Liga Hinggan dikepung ratusan polisi paramiliter untuk mencegah murid meninggalkan kompleks sekolah, kisahnya. Kantor berita AFP mencoba menghubungi salah satu sekolah untuk dimintai konfirmasi, namun sambungan telepon tidak terjawab.
Merawat identitas lokal
Warga lokal mengaku orangtua mendapat tekanan dari polisi untuk mengirimkan anaknya ke sekolah. Murid diancam akan dikeluarkan jika masih mogok dan menolak datang ke ruang kelas.
Enghebatu Togochog, Direktur LSM Southern Mongolian Human RIghts Organization di New York, AS, mengatakan aksi protes warga adalah “pembangkangan sipil gerakan perlawanan” yang menyebar di seluruh Mongolia Dalam.
“Orangtua menolak mengirimkan anaknya ke sekolah yang hanya menggunakan bahasa Cina,” kata Tagochog.
Kawasan di utara Cina itu menampung sekitar empat juta warga etnis Mongol, sekitar 16% dari total jumlah populasi. Sejak beberapa dekade terakhir, program transmigrasi pemerintah Cina menciptakan arus kepindahan warga mayoritas Han ke provinsi terluar dan menggeser etnis minoritas di kawasan adatnya sendiri.
Pemerintah Cina belakangan giat menyensor pesan WeChat dan foto petisi menolak perubahan kurikulum yang ditulis dalam bahasa Mongol, kata Enghebatu Tagochog. Biro Pendidikan Mongolia Dalam menolak berkomentar ketika dihubungi AFP.
Dalam sebuah pesan yang dirilis Senin (1/9), lembaga itu mengklaim jam pelajaran bahasa Mongol tidak berubah. Kawasan tersebut merupakan satu-satunya daerah di dunia yang masih menggunakan alfabet tradisional Mongol. Adapun jiran Mongolia sudah mengadopsi aksara Kiril dari Rusia.
Selama beberapa dekade, kurikulum bilingual untuk sekolah minoritas di Mongolia Dalam menawarkan semua mata pelajaran dalam bahasa lokal, serta Mandarin, Inggris dan bahasa Korea.
rzn/hp (afp, ap)