Eropa Terimbas Sengketa Gas Rusia-Ukraina
3 Januari 2006Karena itu, Uni Eropa harus mengubah politik energinya, dengan melepaskan diri dari ketergantungan pasokan dari Rusia. Harian Italia Il Messagero yang terbit di Roma menulis, Rusia melakukan manuver yang amat riskan. Lebih lanjut harian ini menulis :
Aksi Rusia, hendaknya ditanggapi sebagai pesan yang jelas bagi seluruh negara bekas Uni Sovyet. Mereka harus mempertimbangkan dengan seksama, dampak dari tindakannya, keluar dari pengaruh Rusia, dengan melakukan pendekatan dan menjalin aliansi bersama negara-negara barat. Tindakan Rusia ini merupakan manuver berbahaya, yang terutama merisaukan negara-negara Uni Eropa. Sebab, ketergantungan Eropa dari pemasokan energi Rusia, amatlah besar. Di tahun-tahun lalu, negara-negara Eropa menunjukan sikap penurut yang mengkhawatirkan, terhadap keputusan politik dalam dan luar negeri yang meragukan dari presiden Rusia, Wladimir Putin. Jika Uni Eropa berwawasan pendek, dengan menimbang insiden saat ini, juga melanjutkan politik penurutnya, hal itu di masa depan akan membahayakan seluruh Eropa.
Harian Perancis Liberation yang terbit di Paris menulis komentar, berkaitan dengan konflik pemasokan gas dari Rusia, Uni Eropa kini harus membuat politik energi yang logis.
Uni Eropa harus mengakui kesalahannya sendiri. Sebab, mereka lalai mendefinisikan strategi energi bersama. Serta tidak menetapkan cadangan energi, untuk menghadapi situasi dimana musim dingin datang tiba-tiba, dan bertiup angin sedingin es dari Siberia. Ketergantungan amat besar dari pasokan gas Rusia, merupakan kelemahan paling fatal. Bagi negara-negara industri, dewasa ini tidak ada yang lebih mendesak, selain dari politik energi yang mengutamakan sumber energi alternativ. Dengan begitu, terbuka peluang pertumbuhan ekonomi sekaligus berkurangnya ketergantungan pasokan energi dari luar.
Harian Inggris The Daily Telegraph yang terbit di London berkomentar, negara-negara barat harus membela diri dalam sengketa pemasokan gas dari Rusia.
Sengketa antara Rusia dan Ukraina tidak sekedar menyangkut harga gas. Melalui cara tekanan ekonomi, pemerintah Wladimir Putin melakukan balas dendam terhadap negara bekas Uni Sovyet, yang menyatakan kemerdekaannya dari Rusia. Setelah dihentikannya pasokan gas dari Rusia, Ukraina tidak punya pilihan lain, kecuali menyadap pasokan gas untuk Eropa. Janji Putin, untuk memompa lebih banyak gas ke Eropa, ternyata tidak ditaati. Negara barat kini harus memutuskan, apakah menaikkan nada kecamannya, atau membiarkan saja taktik intimidasi dari Moskow. Yang jelas, Eropa harus menjelaskan kepada Rusia, bahwa sikapnya tidak dapat diterima, jika negara itu ingin tetap diterima menjadi anggota kelompok negara beradab.
Sementara harian Denmark Berlingske Tildende yang terbit di Kopenhagen menulis, negara adidaya energi Rusia berada di jalur yang salah.
Tentu saja tidak wajar, jika Ukraina dan negara bekas Uni Sovyet lainnya, terus menerus membangun ekonominya dengan berlandaskan pada pasokan energi murah dari Rusia. Akan tetapi, sebagai negara adidaya energi, Rusia juga memiliki kewajiban untuk menaikan harga gas secara bertahap dalam jangka waktu tahunan. Dengan begitu di negara pelanggan tidak akan muncul krisis. Karena itu, demonstrasi kekuatan yang ditunjukan Rusia terhadap Ukraina saat ini, menjadi tidak dapat diterima. Sebab tindakan tersebut, menunjukan dengan jelas politik luar negeri tangan besi dari Kremlin. Belum pernah terjadi sebelumnya, juga di era perang dingin, bahwa eksport energi digunakan sebagai politik penekan. Tujuh negara industri maju lainnya dalam kelompok G-8, harus memperingatkan Rusia yang baru saja mengambil alih jabatan ketua, bahwa Moskow bergerak di jalur yang keliru.