Empat Warga Pulau Pari Gugat Raksasa Semen Eropa
8 Februari 2023Gugatan empat warga Pulau Pari di kawasan Laut Jawa di utara Jakarta terhadap pabrik semen Holcim di Swiss itu dilayangkan bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) selaku perwakilan hukum warga pulau Pari di Indonesia dan Hilfswerk der Evangelischen Kirchen Schweiz (HEKS) selaku perwakilan hukum di Swiss.
Upaya warga pulau Pari ini juga mendapat dukungan sejumlah LSM internasional seperti Friends of the Earth International (FOEI) dan European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR) yang turut berpartisipasi dalam gugatan ini.
"Dampak perubahan iklim yang terjadi di pantai Bintang, pantai Renggek, pantai Perawan terlihat sekali. Dulu kita enggak pernah ada rob di sini (tetapi) lima tahun belakangan ini terjadi rob melulu. Setahun kadang dua kali, sampai banyak pohon-pohon mati,” tutur Asmania (40), perempuan asal pulau Pari yang menjadi salah satu penggugat kepada DW, Kamis (20/1).
Tidak ingin tinggal diam melihat dampak perubahan iklim tersebut, Asmania bersama Mustaghfirin dan dua warga pulau Pari lainnya memutuskan untuk menggugat industri semen asal Swiss, Holcim, lantaran dianggap telah memproduksi emisi karbon yang berakibat pada segundang permasalahan yang kini dihadapi masyarakat pulau Pari. Pulau seluas 42 hektar di laut Jawa dekat Jakarta itu menghadapi ancaman tenggelam ditelan naiknya permukaan air laut dalam 30 tahun mendatang, sebagai dampak pemanasan global.
Mengapa Holcim yang digugat?
Masyarakat pulau Pari tidak serta merta menyasar raksasa semen Eropas, Holcim sebagai obyek gugatan mereka. Sejak dampak perubahan iklim mulai dirasakan warga pulau Pari pada tahun 2018 lalu, serangkaian musyawarah dilakukan masyarakat dalam Forum Peduli Pulau Pari bersama WALHI, untuk mencari tahu sumber dan solusi atas persoalan yang tengah dihadapi saat itu.
Edi Mulyono (38), seorang nelayan pulau Pari yang turut ikut sebagai penggugat Jum'at (21/1) menuturkan kepada DW, masyarakat pulau Pari sempat kebingungan kepada siapa gugatan ini harus diajukan. Mereka menyadari bahwa kerusakan iklim tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua perusahaan saja. Namun, setelah melalui serangkaian musyawarah, akhirnya diputuskan bahwa masyarakat pulau Pari akan menggugat Holcim.
Keputusan menyasar Holcim tak lepas dari rangkaian upaya jejaring aktivis lingkungan internasional dalam mengurangi emisi global yang diproduksi oleh industri ekstraktif. Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI menyatakan, gugatan perubahan iklim tidak hanya akan berhenti di produsen semen asal Swiss yang sudah berdiri sejak tahun 1902 itu saja.
"Yang kita lakukan (saat ini) kenapa nggak menggugat lagi (sektor) oil and gas misalnya, atau batu bara, kita (justru) bergerak ke semen? Karena semua industri ekstraktif itu harus "dikoreksi” mode operasi, mode produksinya. Kalau Holcim menang, kawan-kawan di tempat lain itu bisa menggugat ke industri lain yang itu juga punya kontribusi besar dalam emisi,” ujar Parid.
Apa tuntutan warga Pulau Pari?
Para penggugat mengutip dari laman media sosial instagram @save pulaupari mengajukan setidaknya tiga tuntutan untuk Lafarge Holcim dalam persidangan ini:
Pertama: Menuntut ganti rugi proporsional atas krisis iklim yang dialami warga pulau Pari.
Kedua: Mendorong Holcim agar turut bertindak dalam upaya pencegahan banjir rob di pulau tersebut.
Ketiga: Meminta Holcim mengurangi emisi gas karbon dioksida (CO2) sebesar 43% pada tahun 2030 dan 69% pada tahun 2040.
"Kami (warga pulau Pari) merupakan ketiga di dunia, punya peluang yang sama untuk menang karena bukti-bukti sudah terlihat, penurunan luasan pulau 11 hektar. Lalu kemudian nelayan mengalami kerugian, ada intrusi air laut dan lain sebagainya,” jelas Parid Ridwanuddin dari WALHI, kepada DW saat ditemui di pulau Pari, Jum'at (21/1).
Ketiga tuntutan itu disebut Parid akan dapat menyelesaikan persoalan dampak krisis perubahan iklim di pulau Pari dan diyakini tidak akan membuat Holcim mengalami kerugian yang signifikan.
"(Holcim) nggak bangkrut. Tuntutan kita hanya tiga toh: mitigasi, adaptasi, sama loss and damage,” jelas Parid.
Holcim anggap gugatan tidak tepat
Tim DW mencoba mendapatkan konfirmasi atas tuntutan tersebut kepada Holcim dan mendapat jawaban melalui keterangan tertulis yang menyatakan, bahwa perusahaan tersebut tetap pada komitmennya dalam melindungi iklim, namun menganggap langkah gugatan warga pulau Pari tidak tepat.
"Perlindungan terhadap iklim merupakan prioritas utama Holcim dan merupakan inti dari strategi kami. Kami mengambil pendekatan berbasis sains yang ketat untuk hal ini, dengan target net-zero yang pertama kali divalidasi di industri kami, sejalan dengan jalur 1,5°C. Kami tidak percaya bahwa tuntutan hukum yang difokuskan pada perusahaan-perusahaan individual merupakan mekanisme yang efektif untuk mengatasi kompleksitas aksi iklim global,” ujar Yves Böni, Kepala Hubungan Media Holcim, dalam surel kepada DW, Rabu (1/2).
Sebelum langkah hukum ini ditempuh, warga pulau Pari sempat mengajukan upaya konsiliasi dengan Holcim pada Juli 2018 lalu dengan tuntutan yang sama, namun Holcim memilih untuk tidak menindaklanjutinya.
Warga siap terus berjuang sampai dapat keadilan
Asmania mengaku siap untuk bertolak menuju Swiss bersama para penggugat lainnya bilamana diperlukan untuk menghadiri persidangan secara langsung. Tidak ada pilihan lain baginya selain memastikan bahwa warga pulau Pari mendapat keadilan atas kerugian yang didapat dari perubahan iklim.
"Karena kan kita mah orang pulau ya, enggak mungkin merusak pulau sendiri. Enak banget perusahaan besar di sana yang mendapat keuntungan tetapi dampaknya di kita gitu. Kalaupun gugatan kita tidak dikabulkan, kita akan terus lagi, berjuang lagi, sampai kita mendapatkan keadilan,” tegas Asmania.
"Iya (konsiliasinya) gagal. Karena Holcimnya tidak mau menerima. Dia menolak gugatan kita. Itu kan di luar pengadilan. Holcim tidak mau menerima gugatan kita (di luar pengadilan) jadi akhirnya ya sudah, lanjut ke pengadilan,” tutup Parid. (tg/m/as)