Keruntuhan Ekonomi Pakistan Ancam Masa Depan Anak-anak
25 Februari 2023Sebenarnya Nadia yang tinggal di Lahore, Pakistan, masih harus ke sekolah tujuh tahun lagi untuk menyelesaikan pendidikannya. Tapi dia terpaksa berhenti dari sekolah dan harus membantu ibunya, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
"Kami tidak punya pilihan lain," kata Muhammad Amin, ayah Nadia, yang bekerja sebagai satpam. Pendapatannya terlalu kecil untuk menghidupi seluruh keluarga. "Terserah Tuhan apa yang terjadi selanjutnya," dia berkata lirih.
Nadia dan ibunya setiap hari berjalan kaki ke tempat kerja untuk menghemat biaya transportasi. Ibunya sering harus beristirahat di jalan-jalan Lahore karena kelelahan, sebelum melanjutkan perjalanan. Kisah seperti ini bisa ditemui di mana-mana di Pakistan saat ini, di mana jutaan keluarga merasakan dampak brutal dari ekonomi yang berada di ambang kehancuran.
Salah urus keuangan dan ketidakstabilan politik selama bertahun-tahun telah menghancurkan perekonomian Pakistan. Situasi diperburuk oleh krisis energi global dan banjir dahsyat yang membuat sepertiga negara itu terendam air tahun lalu.
Karena Pakistan terlilit utang, pemerintah perlu memperkenalkan pajak yang ketat dan kenaikan harga demi mendapat bantuan bantuan lagi dari Dana Moneter Internasional IMF dan menghindari gagal bayar.
"Kami tidak mampu memenuhi kebutuhan lagi, ketika harus membayar gas, listrik, dan biaya rumah tangga, jadi bagaimana kami bisa menyekolahkan Nadia?" kata ibunya, Miraj.
Musibah dan inflasi tinggi
Muhammad Amin ingin keenam putrinya bisa mengenyam pendidikan sekolah dan berharap generasi mereka bisa keluar dari lingkaran kemiskinan generasi-generasi sebelumnya. Tahun 2015, dia terluka dalam sebuah kecelakaan di jalan raya, dan terpaksa melepaskan pekerjaan dengan bayaran upah yang baik. Dia akhirnya mengambil pekerjaan yang bergaji rendah. Bahkan dengan penghasilan tambahan dari sana-sini, keluarga itu tetap kesulitan karena inflasi tinggi membuat harga-harga meroket. "Kami harus memaksa Nadia untuk keluar sekolah setelah menyelesaikan kelas lima," katanya.
Nadia adalah anak tertua dan sekarang membantu merawat adik-adiknya dan membantu mereka mengerjakan pekerjaan sekolah. Uang sekolah untuk lima putri lainnya sekarang ditanggung oleh majikan Miraj, tetapi dengan situasi keuangan yang genting, ada risiko bahwa adik Nadia yang berusia 13 tahun juga harus meninggalkan sekolah.
"Kami tidak bisa memenuhi kebutuhan. Itu sebabnya saya memberikan gaji berapa pun yang saya dapatkan untuk ibu saya,” kata Nadia, menambahkan bahwa dengan memikul sebagian beban untuk orang tuanya, dia dapat membantu saudara perempuannya memiliki masa depan yang lebih cerah.
Masa depan suram
Presiden Pakistan pada hari Rabu (22/2) mengatakan, setengah dari anak-anak negara itu yang berusia antara lima dan 16 tahun berisiko memasuki dunia kerja atau mengemis. Lebih seperlima dari 220 juta penduduk Pakistan hidup di bawah garis kemiskinan, menurut Bank Pembangunan Asia dan IMF, dan dengan inflasi mencapai hampir 30 persen, masalahnya semakin kritis.
Kesenjangan kekayaan di negeri itu sangat besar, dan banyak orang kaya justru melakukan penghindaran pajak. Awal bulan ini, media sosial dipenuhi dengan foto-foto warga Lahore yang kaya mengantri berjam-jam untuk membeli kopi seharga 700 rupee dari gerai Tim Hortons Kanada yang baru dibuka. Harga Itu lebih dari upah harian sebagian besar buruh.
Keluarga Nadia hanya bisa makan dua kali sehari dan sudah berhenti membeli susu. Daging bagi mereka adalah makanan mewah yang tidak terjangkau lagi.
Menurut ukuran statistik Bank Dunia dan IMF, keluarga Muhammad Amin masih hidup lebih daripada kelompok termiskin di negara ini. Bahkan jika negara itu mendapatkan pinjaman baru dari IMF dan negara-negara sahabat, mungkin butuh waktu berbulan-bulan sebelum ekonomi kembali stabil.
Bagi Miraj, melihat masa depan anak-anaknya yang suram kadang membuatnya putus asa. "Ini memakan seorang ibu dari dalam," katanya sambil menangis.
hp/vlz (afp)