Hindari Mobilisasi Militer di Rusia, Berlindung di Istanbul
26 Januari 2023Hampir setahun yang lalu, pasukan Rusia menginvasi Ukraina. Veniamin mengingat 24 Februari 2022, seperti hari kemarin.
"Itu adalah kejutan besar. Hal terburuk yang bisa terjadi, telah terjadi. Saya seperti lumpuh," katanya kepada DW sambil minum teh Turki di pusat perbelanjaan di pusat kota Istanbul bersama temannya Alexander.
Veniamin, 28 tahun, mengatakan dia tidak pernah mengira perang bisa pecah meskipun ketegangan politik dan represi meningkat. Pagi itu, ketika dia terbangun dan melihat video serangan rudal Rusia yang dibagikan di obrolan grup, semua berubah baginya. Bersama teman sekelasnya, Alexander, dia mengalami hal yang lebih buruk lagi pada hari yang lain, 21 September 2022. Hari itu Kremlin mengumumkan mobilisasi militer parsial.
Kedua pemuda belajar ilmu politik di Sekolah Tinggi Ekonomi Moskow, salah satu universitas terkemuka di Rusia. Mereka sekarang termasuk di antara sekitar 700.000 orang yang telah meninggalkan negara itu sejak adanya mobilisasi, menurut sumber Kremlin yang dikutip Forbes Russia.
Sebelum datang ke Turki pada bulan Oktober, Veniamin bekerja di pasar E-sports, sedangkan Alexander bekerja di sebuah perusahaan energi besar.
"Saya akan mati atau masuk penjara”
Segera setelah perang dimulai, Veniamin mulai menabung agar bisa meninggalkan Rusia jika perlu. "Saya tidak dapat segera meninggalkan negara karena alasan keuangan. Tetapi ketika mobilisasi parsial diumumkan, keadaan berubah. Saya akan mati atau masuk penjara. Saya ingin tetap hidup," katanya.
Pada hari mobilisasi diluncurkan, dia membeli tiket pesawat ke Belarusia. Mengemas hanya barang-barang yang paling penting, seperti sepasang sepatu dan sikat gigi, dia meninggalkan Moskow ke Minsk hanya dengan membawa satu ransel. Setelah tinggal di tempat seorang teman selama sebulan, dia menelepon Alexander untuk membicarakan di mana mereka bisa bertemu.
"Saya benci politik dan segala hal tentangnya. Saya benci Putin," kata Veniamin. Kedua pemuda itu mengatakan kepada DW bahwa mereka menentang perang yang sedang berlangsung, dan alasan mereka meninggalkan Rusia adalah karena mereka tidak ingin menjadi bagian darinya.
Alexander mengambil keputusan pada menit-menit terakhir dan segera menuju bandara. Setibanya di sana, dia naik kereta untuk melintasi perbatasan. Setelah berbicara dengan Veniamin, keduanya menetapkan Turki sebagai tujuan mereka.
"Meninggalkan Moskow adalah keputusan tersulit dalam hidup saya. Itu sangat sulit secara emosional. Saya membeli tiket ke kota yang dekat dengan perbatasan ke Kazakhstan. Saya punya waktu lima hari sebelum keberangkatan. "
"Tidak mungkin membuat rencana jangka panjang”
Pada bulan September, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengatakan 300.000 cadangan akan direkrut menjadi militer. Salah satu peserta wajib militer adalah kerabat Alexander, seorang pria berusia 45 tahun, yang dikirim ke Ukraina pada Malam Tahun Baru setelah hanya dua bulan pelatihan.
"Sebagai seorang pria yang sudah menikah dengan anak-anak, dia memiliki kehidupan yang mapan di Rusia. Tidak mudah meninggalkan negara itu dalam kasus seperti itu," kata Alexander. Pada bulan November, Jenderal Angkatan Darat AS Mark Milley, ketua Kepala Staf Gabungan, mengklaim bahwa sejauh ini hampir 100.000 tentara Rusia telah tewas atau terluka di Ukraina.
Alexander dan Veniamin pada awalnya menganggap Istanbul kota yang kacau, tetapi sekarang mereka menikmati tinggal di kota. Kedua pemuda Rusia itu mengatakan bahwa mereka memiliki cukup tabungan untuk bertahan hidup selama satu tahun, tapi setelah itu mereka tidak tahu apa yang akan terjadi. Meskipun mereka ingin kembali ke Rusia, mereka mengatakan tidak mungkin melakukannya sebelum perang berakhir.
"Anda bahkan tidak bisa membuat rencana untuk besok. Tidak mungkin membuat rencana jangka panjang," kata Alexander, menambahkan bahwa dia sangat merindukan rumahnya di Moskow dan dia menghabiskan hari-harinya menonton streaming langsung YouTube di jalan-jalan ibu kota Rusia itu.
(hp/pkp)