1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan BerpendapatEropa

Profesor Jerman Dirundung Tuduhan Islamofobia

Heike Mund | Stefan Dege
24 Maret 2021

Seorang profesor Jerman di sebuah universitas di Grenoble, Prancis, menjadi sasaran kampanye kebencian karena tidak ingin membandingkan anti semitisme dengan islamofobia.

https://p.dw.com/p/3r0C3
Aksi demonstrasi menentang islamofobia di Paris, Prancis, 11/2019.
Aksi demonstrasi menentang islamofobia di Paris, Prancis, 11/2019.Foto: Imago Images/PanoramiC/F. Pestellini

"Tolak kaum fasis di ruang kuliah kami! Singkirkan Profesor Kinzler! Islamofobia membunuh," demikian tulisan spanduk besar yang digantung di Universitas Grenoble. Aktivis dari serikat mahasiswa Prancis, Unef, juga memposting slogan-slogan tersebut secara online.

Islamofobia bukan tuduhan enteng di Prancis. Lima bulan setelah pembunuhan brutal terhadap seorang guru sejarah, Samuel Paty. Menyusul debat yang memicu kemarahan publik di Institut Studi Politik Grenoble, dua profesor kini berada di bawah perlindungan polisi.

Begini kejadiannya: Tiga setengah bulan yang lalu, para mahasiswa dan dosen di universitas sedang mendiskusikan judul dari sebuah seminar yang tengah direncanakan- bertopik kesetaraan. Judul yang diperdebatkan:  Haruskah "islamofobia" dimasukkan bersama "anti-Semitisme" dan "rasisme"?

Klaus Kinzler, Guru Besar Sastra Jerman di Institut Grenoble untuk Studi Politik
Klaus Kinzler, Guru Besar Sastra Jerman di Institut Grenoble untuk Studi Politik, Prancis.Foto: privat

Profesor Klaus Kinzler, yang mengajar bahasa dan budaya Jerman di universitas tersebut, merasa bahwa islamofobia tidak sebanding dengan anti semitisme. Menyusul sarannya untuk tidak memasukkan istilah "islamophobia" dalam judul seminar, dosen tersebut dikeluarkan dari grup diskusi di email.

Kebetulan, profesor kelahiran Stuttgart itu menikah dengan perempuan muslim. Ketika profesor lain menunjukkan solidaritas dengan Kinzler, serikat mahasiswa Unef menyasarnya.

Menteri Dalam Negeri Prancis untuk Masalah Kewarganegaraan, Marlene Schiappa, bereaksi terhadap kasus ini: Setelah pemenggalan kepala guru Samuel Paty, kampanye kebencian terhadap para profesor adalah "tindakan yang sangat menjijikkan," kata Schiappa dalam sebuah wawancara TV. Unef secara aktif "membahayakan nyawa para profesor," tambahnya.

Sebuah refleksi dari masalah integrasi Prancis

Sejarawan dan penulis Jerman, Philipp Blom, memandang diskusi di Prancis tentang islamofobia sebagai refleksi dari isu-isu sosial yang terkait dengan posisi negara tersebut sebagai bekas kekuasaan kolonial, di mana berlaku "rasisme fungsional".

Integrasi imigran dari Afrika Utara jelas gagal, kata Blom. "Di Banlieues di pinggiran Paris, orang-orang tidak merasa seperti tinggal di Prancis. Mereka tidak memiliki kesempatan yang sama dengan orang lain," kata Blom kepada DW.

Mengalami marginalisasi dan penghinaan, seluruh generasi telah tumbuh dewasa dalam lingkungan di mana para kriminal kecil dan Islam radikal bersaing untuk berebut dominasi. "Saya dapat memahami bahwa situasi ini menciptakan kemarahan, termasuk kemarahan yang mematikan," papar Blom.Tapi hal itu bukan masalah Prancis secara khusus, tambah sejarawan tersebut. Namun, pengalaman mengalami penghinaan adalah "kekuatan politik yang sangat penting".

Politik identitas dan ‘penyingkiran‘ budaya

Sementara itu Klaus Kinzler mengatakan kepada surat kabar Jerman, Die Welt bahwa ada bentuk aktivisme politik di Prancis yang menyamar sebagai akademisi.

Senada dengannya, ilmuwan politik Claus Leggewie menunjukkan bahwa para aktivis itu tidak berperang melawan kekuasaan, kemapanan, sayap kanan atau fasis sejati, melainkan melawan orang-orang yang pandangannya dianggap "tidak cukup pro-Islam". Leggewie menggambarkan kasus ini sebagai pembungkaman dan "melarang gagasan dan diskusi".

Media sosial juga telah menjadi ruang gaung kelompok identitas sosial, yang semakin mengecualikan orang-orang yang mempunyai gagasan-gagasan berbeda. Dengan melancarkan kontroversi secara online, anggota kelompok ini segera mendapatkan pengakuan media, kata Leggewie. "Persis seperti itulah yang terjadi di Grenoble, dan dengan Samuel Paty, yang dalam kasusnya hal itu berakibat fatal," tambah pakar politik tersebut.

Islamofobia versus anti semitisme

Klaus Kinzler telah menjadi profesor di Institut Studi Politik Grenoble selama 25 tahun. Dia "tidak terkejut" dengan slogan-slogan di gedung universitas, karena serikat mahasiswa Unef telah mencapnya sebagai ekstremis sayap kanan dan islamofobia di jejaring sosial.

Claus Leggewie, pakar ilmu politik asal Jerman
Claus Leggewie, pakar ilmu politik asal JermanFoto: Frank May/picture alliance

Rasisme dan anti semitisme - yang keduanya merupakan tindak pidana di Prancis- tidak ada hubungannya dengan islamofobia, demikian dalam pandangan Kinzler. "Anti semitisme telah mengakibatkan jutaan kematian, genosida tak berujung. Lalu ada pula rasisme, perbudakan. Hal itu juga telah mengakibatkan puluhan juta angka kematian dalam sejarah," jelasnya kepada Die Welt.

"Tapi di mana terjadi jutaan kematian terkait dengan islamofobia?" tanyanya sembari menjelaskan: "Saya tidak menyangkal bahwa orang-orang beragama muslim mengalami diskriminasi. Saya hanya menolak untuk menempatkannya pada level yang sama. Saya rasa ini adalah pengecohan yang tidak masuk akal."

Kinzler adalah "profesor bahasa Jerman biasa di institut provinsi" dan selalu menikmati pekerjaannya, ujarnya kepada media Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung. Sebelum kontroversi meledak, para mahasiswa mengatakan kepadanya bahwa mereka menghargai bahwa dia mempertahankan posisi bebas dan liberal. "Pertukaran (gagasan) itu selalu memperkaya," ujarnya.

Pada akhirnya, katanya, dia tidak terlalu tersinggung oleh para mahasiswa yang meluncurkan kampanye kebencian, dibandingkan dengan rekan-rekannya, peneliti, dan profesor - yang menjauhkan diri darinya, tanpa membuka ruang dialog.

"Hal itu tidak pernah terjadi pada saya selama 30 tahun berkarier di universitas," kata Kinzler kepada DW. "Saya selalu diizinkan untuk mengatakan apa yang saya ingin katakan, bahkan jika diskandalisasi. Peristiwa ini adalah sesuatu yang baru yang saya hadapi ... argumen yang kurang lebih tidak lagi disepakati di dunia akademis, tetapi merupakan bentuk ofensif."

Bagi banyak koleganya, kata Kizler, dia dianggap "sayap kanan reaksioner" yang merugikan dirinya sendiri dan merusak reputasi institut. Kizler berasumsi bahwa dia akan menjadi"persona non grata" untuk beberapa tahun mendatang - bahkan mungkin sampai pensiun. "Tapi saya bisa hidup dengan situasi itu," katanya. "Saya tidak melakukan apa-apa, selain membela demokrasi. Saya membela diri, saya membela kolega saya, dan saya membela kebebasan akademis." (rzn/vlz)

Stefan Dege
Stefan Dege Editor dan penulis di departemen DW Culture