1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialThailand

Disahkan Raja, Thailand Legalkan Pernikahan Sesama Jenis

25 September 2024

Thailand resmi menjadi negara ketiga di Asia dan pertama di Asia Tenggara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Berlaku mulai Januari 2025. Bagaimana dengan negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia?

https://p.dw.com/p/4l34E
Pride di Thailand
Thailand menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang melegalkan pernikahan sesama jenisFoto: Soe Zeya Tun/REUTERS

Raja Thailand, Maha Vajiralongkorn, resmi mengesahkan undang-undang pernikahan sesama jenis yang sebelumnya telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Thailand pada April dan Juni lalu. Dengan begitu, Thailand menjadi negara pertama di Asia Tenggara dan negara ketiga di Asia yang mengakui pernikahan sesama jenis, setelah Taiwan dan Nepal.

Pengesahan dari kerajaan ini diterbitkan pada Selasa (24/9), dan akan mulai berlaku dalam 120 hari, yaitu pada 22 Januari 2025. Ini berarti pasangan LGBTQ+ akan dapat mendaftarkan pernikahan mereka secara legal pada Januari mendatang. 

Undang-undang tersebut memberikan hak-hak hukum, keuangan, dan medis secara penuh bagi pasangan pernikahan dari jenis kelamin apa pun.

"Selamat untuk cinta semua orang,” tulis Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra dengan tagar #LoveWins di media sosial X.

Dua dekade perjuangan aktivis

Thailand merupakan salah satu tujuan wisata paling populer di Asia yang dikenal dengan budaya dan toleransi LGBT. Selama dua dekade, para aktivis di Thailand mengupayakan pengesahan peraturan pernikahan sesama jenis ini. Masyarakat Thailand sebagian besar memegang nilai-nilai konservatif, dan anggota komunitas LGBTQ+ mengatakan bahwa mereka menghadapi diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah dan lembaga-lembaga negara juga secara historis merupakan konservatif, dan para pendukung kesetaraan gender mengalami kesulitan untuk mendorong anggota parlemen dan pegawai negeri untuk menerima perubahan.

Wakil Gubernur Bangkok, Sanon Wangsrangboon, mengatakan bahwa para pejabat kota akan siap untuk mendaftarkan pernikahan sesama jenis segera setelah undang-undang tersebut diberlakukan.

Undang-undang itu pun mengubah Hukum Perdata dan Komersial negara tersebut dengan mengganti kata-kata spesifik gender seperti "pria dan wanita” dengan kata-kata netral gender seperti "individu”.

Pemerintah yang dipimpin oleh Partai Pheu Thai menjadikan pernikahan sesama jenis sebagai salah satu tujuan utamanya.

Bagaimana dengan negara-negara lain di Asia Tenggara?

Pada 2023, Pew Research Center merilis data survei tentang respons terhadap pernikahan sesama jenis di beberapa negara di Asia, khususnya Asia Tenggara. Menurut survei tersebut, pandangan terhadap pernikahan sesama jenis paling disukai di Jepang, di mana sekitar 68% mengatakan bahwa mereka cenderung mendukung untuk mengizinkan pernikahan sesama jenis secara legal.

Di Singapura, tidak ada mayoritas yang jelas mendukung (45%) atau menentang (51%) pernikahan sesama jenis. Pernikahan sesama jenis tidak sah di Singapura, dan parlemennya mengamandemen konstitusi pada 2022 untuk mencegah gugatan hukum terhadap definisi pernikahan.

Di Taiwan, jumlah yang kurang lebih sama mengatakan bahwa mereka mendukung (45%) dan menentang (43%) pernikahan sesama jenis. Taiwan merupakan salah satu negara di Asia yang paling awal melegalkan pernikahan sesama jenis.

Di Thailand, enam dari sepuluh orang dewasa di sana mendukung agar LGBTQ dapat menikah secara legal. Sekitar sepertiga warga Thailand menentangnya.

Lalu di Korea Selatan, sekitar 56% mengatakan bahwa mereka menentang pernikahan sesama jenis yang sah, sementara 41% lainnya mendukung.

Alegra Wolter: Dokter Transpuan Pertama di Indonesia

Mayoritas warga Indonesia menentang

Di Indonesia, 92% mengatakan bahwa mereka menentang, termasuk 88% yang sangat menentangnya. Mayoritas di Malaysia (82%) dan Sri Lanka (69%) juga menentang.

Di Indonesia dan Malaysia, dua negara dengan mayoritas Muslim yang disurvei oleh Pew Research Center, umat Islam memberikan dukungan terendah terhadap pernikahan sesama jenis dibandingkan dengan kelompok agama lain yang disurvei. Hanya 4% Muslim Indonesia dan 8% Muslim Malaysia yang mendukungnya.

Aktivis bagi kelompok LGBT di Indonesia sekaligus pendiri Gaya Nusantara Dede Oetomo berpendapat, mayoritas warga Indonesia masih menolak pernikahan sesama jenis, di antaranya karena agama, adat, dan kebudayaan.

"Indonesia masih lama, tapi perjuangan ke arah sana pasti ada. Mungkin Indonesia akan jadi negara terakhir di Asia Tenggara (yang akan melegalkan pernikahan sesama jenis),” kata Dede kepada DW Indonesia.

Ia menambahkan "sebagai aktivis, saya pasti menyambut dengan baik (keputusan Kerajaan Thailand). Suatu kemajuan untuk Asia Tenggara. Akhirnya satu lagi negara di Asia Tenggara yang melegalkan pernikahan sesama jenis."

Dede tak memungkiri banyak kelompok LGBTQ di Indonesia yang dibenci bahkan dimusuhi karena dianggap melakukan hal yang tidak sesuai dengan agama, adat, dan kebudayaan.

"Isu ini masih dipulangkan/disangkutkan pada adat dan kebudayaan, padahal sebetulnya di beberapa suku dan etnis di Nusantara seperti Suku Toraja, pernah ada pernikahan sesama jenis tapi sudah dilupakan orang,” tambahnya.

"Kalau orang berprinsip semua orang sama hak asasinya, maka kalau orang heteroseksual bisa menikah, yang LGBTQ harusnya bisa menikah juga,” katanya.

"Setiap warga negara seyogianya diperlakukan secara setara"

Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, menilai keputusan di Thailand itu akan berpengaruh pada semua negara di Asia Tenggara, mulai dari Laos sampai Timor Leste, tak terkecuali Indonesia. 

"Pengaruhnya mungkin negatif, terutama di Brunei, Indonesia dan Malaysia, dengan banyak populasi Muslim. Namun lama-kelamaan, orang juga akan sadar bahwa setiap orang berhak mencintai dan dicintai. Mereka akan sadar bahwa orientasi seksual dan identitas gender adalah alamiah, bukan karena pengaruh lingkungan, walau lingkungan berpengaruh dalam menekan identitas dan orientasi tersebut," kata Andreas kepada DW Indonesia. 

Menurutnya, berbagai adat dan agama asli di Indonesia mengenal LGBTQ. Seperti bahasa Bugis yang memiliki lima kata untuk identitas gender, yaitu perempuan (makkunrai), laki-laki (orowane), laki-laki feminin (calabai), perempuan maskulin (calalai), dan bissu (transgender).

Ia mengungkapkan, Arus Pelangi sebelumnya menyampaikan ada sekitar 45 aturan yang anti-LGBT, termasuk hukum perkawinan. Selain itu, ada berbagai aturan daerah yang dinilai dipakai untuk mengkriminalisasi kelompok LGBT. 

"Indonesia seyogianya memperlakukan setiap warga negara secara setara, tanpa pandang bulu, termasuk identitas gender mereka," ungkap Andreas. 

Ia mengatakan, kelompok LGBT di Indonesia "masih berjuang agar hak dasar mereka —termasuk akses akan kesehatan, perumahan, pendidikan, pelayanan administrasi negara dan lainnya, dilindungi di Indonesia."

Dibuat dengan material tambahan dari Reuters, AP, AFP

Editor: Rahka Susanto

 Melisa Ester Lolindu
Melisa Ester Lolindu Melisa fokus meliput politik, lingkungan, kesetaraan gender, ekonomi, dan sosial budaya.