Dinamika Keluarga Muda di Indonesia dalam Membesarkan Anak
28 Juli 2022"Saya ada di antara banyak pilihan, tapi berhenti bekerja akhirnya jadi pilihan yang saya pilih,” itulah ungkapan Yeni Agustina, mantan karyawati swasta yang memutuskan berhenti bekerja untuk merawat buah hatinya. Hidup dalam kelas menengah di kawasan penyangga ibu kota, Yeni harus menghadapi pilihan yang sulit antara bekerja dan merawat anak.
"Selama pandemi, satu tahun terakhir saya banyak berpikir untuk berhenti bekerja dengan sejumlah pertimbangan, salah satu yang paling utama adalah siapa yang mengurus anak, karena suami mulai kembali harus masuk kantor,” papar Yeni kepada DW Indonesia.
Sebagai anak rantau, Yeni dan suaminya harus mengambil peran untuk merawat sang buah hati, "tidak ada orang tua yang dititipkan untuk merawat anak saya. Pilihan lainnya paling dititipkan di daycare, tapi biaya daycare yang bagus dan menerapkan protokol kesehatan harganya sekitar 50 sampai 70% dari gaji bulanan aku.”
Di antara pilihan ‘menjadi ibu' atau ‘perempuan karier'
Sejak medio 1980-an, ketika gelombang kaum ibu sangat pesat memasuki dunia kerja, kaum hawa dihadapkan pada pilihan melanjutkan dirinya sebagai perempuan karier atau memutuskan menjadi seorang ibu. Kondisi ekonomi semakin memperuncing pemikiran bahwa perempuan harus memilih di antara dua pilihan tersebut.
"Masa tergalau adalah ketika tidak bisa mendampingi tumbuh kembang anak. Pulang kerja lelah dan bahkan tidak ada tenaga untuk bermain dengan anak. Ditambah rumah yang jauh. Jadi saya pikir sebaiknya saya tunda dulu pencapaian karier dan bertumbuh bersama anak saya,” papar Yeni.
Yeni memutuskan untuk berdiksusi dengan sang suami mengenai opsi mengasuh anak dan mempertimbangkan penghasilan keluarga yang hanya ditopang satu orang.
Kisah Yeni Agustina menjadi gambaran dari masalah pelik banyak keluarga ekonomi menengah di kota-kota besar di Indonesia. Rasa dilematis pada pilihan antara berjuang merawat buah hati kerap kali berbenturan dengan kebutuhan ekonomi. Yeni berharap "bisa mendapatkan pekerjaan dari rumah sambil mengurus anak.”
Direktur Lembaga Sinarau Lily Puspasari yang berfokus pada isu-isu perempuan menyebut "perlu adanya dukungan dari pemerintah untuk membantu keluarga muda dari ekonomi menengah bawah dalam menciptakan kesejahteraan di keluarga.” Ia juga menyebut kerap kali fenomena memilih pekerjaan atau mengurus anak harus berakhir pada keputusan perempuan yang harus berhenti bekerja.
Mahalnya ongkos merawat anak
Sejumlah alternatif dapat dipilih para orang tua muda yang harus bekerja sembari mengurus anak. Salah satunya fasilitas daycare. Tren daycare berkembang dalam beberapa tahun terakhir utamanya di negara-negara maju. Daycare menjadi salah satu solusi untuk menitipkan anak di tengah keputusan kedua orang tua untuk berkerja bagi ekonomi keluarga.
Namun, akses daycare di kota besar seperti Jakarta tidak tergolong terjangkau. Umumnya harga daycare di Jakarta berkisar Rp2 juta hingga 3,5 juta per bulan. Padahal data BPS pada 2021 menyebut, rata-rata gaji pekerja di Jakarta berkisar di angka Rp4,1 juta hingga 5 juta per bulan.
"Bagi keluarga muda dengan ekonomi menengah ke bawah menjadi sulit, utamanya bagi mereka yang tidak memiliki support system seperti orang tua ikut merawat,” jelas Lily kepada DW Indonesia.
Hal ini berbeda dengan sejumlah negara di Eropa. Di Swedia, orang tua muda hanya perlu mengeluarkan ongkos daycare hanya sekitar 4% dari pendapatan bulanan warganya. Sementara di Jerman, pemerintahnya sejak 2019 telah menggelontorkan dana untuk memberikan subsidi bagi warganya dalam menikmati fasilitas daycare. Warga Jerman hanya perlu merogoh kocek sekitar 5,1% hingga 9,8% ongkos daycare dari penghasilan bulanan.
Namun, segala kemudahan bagi warga Swedia maupun Jerman tidak didapatkan secara cuma-cuma. Pajak di Swedia bisa mencapai 52,27%. Sementara pajak di Jerman berkisar 12% hingga 42% dari penghasilan bulanan warganya.
Tantangan daycare dalam budaya membesarkan anak di Indonesia
Di sisi lain, budaya merawat anak dengan menggunakan fasilitas daycare dinilai masih cukup tabu oleh sebagian kalangan. Citra Anggraeny, Manager Operasional dari Root Daycare, menyebut hingga saat ini masih banyak orang tua yang enggan menitipkan anaknya di daycare.
"Masih tetap ada yang menganggap daycare itu kayak anaknya itu dipisahin, apalagi kakek nenek banyak banget (berpikir) 'aduh kasian banget adiknya harus dititipin,' lebih mostly pengennya sih cucunya di rawat sama kakek neneknya,” ungkap Citra kepada DW Indonesia.
Apa yang disampaikan Citra bukan isapan jempol belaka. Seorang ibu rumah tangga muda, Yunita mengungkapkan kepada DW Indonesia alasannya untuk tidak menggunakan daycare dalam merawat anak, "selama ini sih saya lebih percaya pada orang tua saya ya, kalau di daycare kan kita enggak pernah tahu siapa sih yang asuh anak kita, kita enggak kenal sebelumnya.”
Budaya masyarakat Indonesia yang belum terbiasa dan mengenal daycare menjadi tantangan di industri ini. Citra menyebut untuk dapat meyakinkan orang tua mengenai kualitas pola pengasuhan, daycarenya rutin mengadakan "pelatihan bagi pendamping anak, hingga pendampingan dari ahli gizi dan tenaga ahli, seperti dokter.”
Daycare menjadi solusi bagi keluarga muda di Indonesia, di mana kedua orang tua buah hati harus memutuskan untuk bekerja. Sejauh ini, DPR tengah menggodok aturan dalam Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang mewajibkan perusahaan untuk menyediakan daycare bagi karyawannya.
"Kalau aturan itu diterapkan, itu memudahkan sekali ya untuk keluarga seperti aku. Jadi bisa tetap bekerja tanpa khawatir soal anak,” pungkas Yeni.
(rs/ha)